Thursday, September 1, 2011

Apresiasi Peradaban Masa Lampau Kita - Situs Muarajambi

Apresiasi Peradaban Kita : Situs Muarajambi, Candi Terbesar di dunia?

Selama ini kita selalu diberitahu bahwa nenek moyang kita adalah bangsa primitif yang hidup tanpa peradaban. Padahal fakta-fakta arkeologis yang telah ditemukan mengatakan hal sebaliknya. Ternyata kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia jauh lebih tinggi, dan bahkan lebih beradab dari peradaban barat pada masa yang sama. Sebagai bangsa, kita telah mengalami amnesia panjang bahwa bangsa kita pernah menjadi bangsa yang berkebudayaan.

Maka dalam rangka memulihkan ingatan kita akan kebanggaan atas kebudayaan bangsa kita yang tinggi itu, maka NIM (National Integration Movement) menghadirkan Bapak Junus Satrio Atmodjo yang sekarang menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, untuk tampil sebagai pembicara tunggal dalam Diskusi Kebangsaan NIM di One Earth, Ciawi pada Sabtu, 14 Oktober 2006. Beliau adalah narasumber yang dapat memaparkan salah satu bukti tingginya kebudayaan Nusantara, yakni Situs MuaraJambi. Pak Junus sendiri pernah bertugas menjadi Kepala Suaka Peninggalan Bersejarah Purbakala wilayah Jambi, Sumsel dan Bengkulu dari tahun 1990-1997. Muhammad Dian Martin bertindak sebagai Moderator dalam acara ini.

Bapak Junus memulai presentasinya dengan menunjukkan foto-foto satelit lokasi dan peninggalan purbakala yang diambil dari Situs MuaraJambi yang terletak di sepanjang sungai Batanghari-Sumatera.

Sebelumnya, kita harus bisa membedakan antara Candi dengan Bangunan Candi. Istilah Candi sendiri berarti komplek/sistem yang terdiri dari bangunan candi-candi dan halaman-halaman sekitar bangunan Candi, bukan bangunan tunggal Jadi ketika Situs Muara Jambi dianggap lebih besar dari Candi Borobudur, maka berarti komplek di mana terdapat bangunan-bangunan candi di Situs MuaraJambi memang lebih besar dari komplek bangunan-bangunan candi Borobudur. Tapi tidak ada satupun bangunan candi di Situs MuaraJambi yang lebih besar dari bangunan candi Borobudur.

Situs MuaraJambi sendiri terletak di sebuah daerah rata sepanjang tepian sungai Batanghari, sebelum sungai itu kemudian sedikit berbelok ke arah selatan. Situs ini dibentengi tanggul alam kuno (natural levee) sehingga terhindar dari banjir yang kerap menerjang daerah ini sampai setinggi 6 meter ketika musim hujan tiba. Masyarakat sekitar di sana biasanya akan hidup di Menapo (bukit-bukit tanah yang menimbun candi) bila banjir menerjang kampung tempat tinggal mereka. Diperkirakan masih ada 83 menapo yang belum terjamah dinas arkeologi dan jumlahnya terus bertambah.

Situs bersejarah ini berbentuk persegi-empat memanjang berada di area seluas 12.5 km persegi dengan panjang area sepanjang 7.5 km. Bangunan-bangunan candi terbuat dari batu-batu bata merah. Ada beberapa bangunan candi yang sudah berhasil dipugar oleh dinas purbakala Jambi seperti (bangunan) candi Gedong 1 dan Gedong 2, Gumpung, Tinggi, Astano dan Kedaton.

Dalam situs tersebut juga ditemukan kanal-kanal yang menghubungkan satu candi dengan candi lainnya. Demikian pula kolam-kolam yang diperkirakan sering digunakan sebagai salah satu tempat ritual keagamaan pada masa itu. Salah satu kolam terbesar adalah Kolam Talago Rajo.

Candi-candi di MuaraJambi dibangun sangat berdekatan satu dengan lainnya. Dan pemukiman-pemukiman penduduk berada di sekitar Candi-candi tersebut. Ada beberapa teori yang bisa menjelaskan fenomena ini, yakni :

1.Daerah-daerah di mana Candi-candi itu didirikan, dalam tradisi Buddhis, biasanya disebut sanctuary area. Areal ini biasanya dibangun di daerah perbukitan sebelah timur terpisah dari daerah pemukiman penduduk.

2.Kepadatan suatu kawasan sangat terkait dengan jumlah penduduk sekitarnya. Bila sebuah candi, misalnya, diurus oleh 50 orang penduduk, maka jumlah candi-candi di MuaraJambi menunjukkan berapa kira-kira jumlah penduduk pada masa itu yang tinggal di sekitar candi.

3.Candi-candi itu pun biasanya didirikan di pusat-pusat administrasi atau pemerintahan sebuah kerajaan. Dalam tradisi kuno Nusantara, biasanya pusat suatu kerajaan didirikan pusat-pusat kosmos yang dilambangkan dengan Mandala. Candi di Muarajambi diperkirakan sebagai Pusat Mandala dari suatu kerajaan. Banyak bukti-bukti purbakala berupa peralatan rumah tangga yang berkualitas tinggi juga membuktikan keberadaan hirarki-hirarki dalam pemerintahan maupun status sosial masyarakat, di mana semakin tinggi hirarki mereka, maka semakin dekat mereka tinggal dengan pusat mandala.

Keberadaan situs Muarajambi juga memberitahukan kita beberapa hal, yakni:

1.Latar Belakang Agama. Pada masa itu, masyarakat di sekitar situs Muarajambi beragama Buddha Mahayana atau Tantrayana. Juga telah terjadi kerukunan antara pemeluk agama Hindu dan Buddha. Dan hal ini menandakan tingginya peradaban masyarakat pada masa itu. Banyak juga catatan-catatan atau prasasti-prasasti dari negara lain yang mengatakan bahwa daerah itu sebagai pusat ilmu pengetahuan agama (semacam pesantren) Buddha bagi negara-negara lain disekitarnya, bahkan sampai sejauh India, Cina dan Tibet.

2.Pusat Perdagangan. Dari penemuan benda-benda purbakala di sekitar Candi Muarajambi ditemukan berbagai gerabah-gerabah kuno yang modelnya mengikuti model Persia, Romawi maupun Thailand. Penemuan ini membuktikan bahwa Muarajambi telah menjadi pusat perdagangan antar negara yang ramai. Catatan sejarah dari cina pun mengkonfirmasi hal ini di mana dari daerah muarajambi selalu terdapat komoditas tertentu seperti damar, lakka yang bermutu tinggi. Jadi trend perdagangan global sebenarnya sudah terjadi sejak dulu di kepulauan Nusantara.

3.Jalur Perlayaran Internasional. Muarajambi pada masa itu telah menjadi jalur perlayaran internasional yang ramai di mana bila ada kapal Cina yang mau berlayar ke India harus melewati daerah Palembang dan Jambi ini.

Situs Muarajambi adalah salah satu bukti bahwa pada masa itu nenek moyang bangsa Indonesia bukanlah bangsa primitif yang tidak beradab, tidak berbudaya atau penyembah berhala. Jadi anggapan bahwa bangsa Indonesia baru beradab ketika agama-agama kristen atau Islam masuk ke kepulauan Nusantara telah terbukti hanyalah isapan jempol semata, atau hanya merupakan strategi para missionaris dalam menyebarkan doktrin agama mereka. Malah menurut Pak Junus yang juga seorang Arkeolog lulusan
UI, salah satu indikator tingginya peradaban budaya sebuah bangsa adalah kemampuan rakyat bangsa tersebut untuk mengapresiasikan perbedaan yang ada disekitarnya.

Yang menarik adalah pendapat Pak Junus bahwa dalam tataran konseptual, dasar dari sebuah agama sebenarnya adalah kebudayaan. Masalahnya pada saat ini banyak orang Indonesia tidak masuk dalam esensi agamanya tapi hanya mengetahui luaran dari agamanya sehingga yang terjadi hanyalah persaingan antar satu agama dengan lainnya. Ini secara tidak disadari telah menyebabkan perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal bila diamati tanpa adanya niat untuk bersaing dengan agama lain, banyak kesamaan yang dapat kita lihat dari konsep maupun ritual keagamaan masing-masing agama. Konsep Kristen tentang Kedatangan Yesus ke dunia untuk ke-2 kalinya mirip dengan Konsep Buddha tentang Kedatangan mirip dengan Konsep Islam tentang Kedatangan Imam Mahdi. Demikian pula penggunaan tasbih dalam berbagai tradisi agama seperti kristen, katholik (ordo dominikan), buddha, hindu, shinto, dsbnya.

Seorang Bhikku dari Cina, Yijing malah sempat berkunjung dua kali ke Sriwijaya (671 & 695 M) untuk belajar agama di sana. Demikian pula ada catatan perjalanan Atisha yang belajar agama juga sekitar abad ke-11. Catatan sejarah ini penting bahwa Pulau Sumatera telah menjadi kiblat bagi sebagian umat beragama di dunia untuk mempelajari spiritualitas.

Dalam meluaskan kekuasaannya kerajaan Sriwijaya pada waktu itu sudah terjalin ikatan seperti federasi dengan kerajaan Sailendra di P. Jawa. Pangeran Diah Balitung (yang nantinya menjadi nama bagi P. Belitung) dari keturunan Sailendra menikah dengan keturunan Sriwijaya dan menetap di Palembang.

Situs purbakala MuaraJambi adalah salah satu bukti tingginya peradaban dan lebudayaan Nusantara pada masa lampau. Konsep Globalisasi, Praktek Pluralisme beragama, dan Pusat Pendidikan Spiritual adalah bukti-bukti nyata tingginya tingkat kesadaran masyarakat kala itu. Ini bisa menjadi modal bagi generasi muda bangsa untuk kembali menggali kebudayaan bangsanya sendiri dan menjadikan identitas dirinya dengan rasa cinta dan bangga pada Budaya dan Bangsa di mana dirinya dilahirkan.

Nationalism in Larger Framework of Internationalism
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa


 
Jorganizer Hamdani
024-7060.9694 (flexy)
hope 4 the best n prepare 4 the worst
knowing is nothing without applying



<span class="fullpost"></span>

1 comment:

  1. kami menjadi sedikit lebih tau tentang candi muarajambi semoga kita semua bisa menjaga warisan tersebut agar generasi yg akan dtng pun masih bisa menyaksikanya.

    ReplyDelete

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers