Tuesday, August 16, 2011

Visi dan Misi Bank Syariah yang seharusnya Ada.

Tulisan ini dibuat melihat praktek Ekonomi Syariah kok sepertinya (maaf) belum sesuai dengan Al Qur'an dan Hadits. Sehingga beberapa narasumber dari sebuah milis sampai-sampai menyebut Bank Syariah lebih haram daripada Bank Konvensional.

Tulisan dalam milis tersebut memang pedas sekali meski menurut saya kita masih perlu Bank untuk menyimpang uang dan mentransfer uang.

Namun berbagai praktek oknum pelaku Ekonomi Syariah justru membuat citra ekonomi Syariah makin buruk.

Sebagai contoh Bu Yulia seorang member milis Syiar Islam yang saya kelola mengeluh bahwa dia ditawari "Berkebun Emas". Dengan uang Rp 5 juta, dia "Dipinjami" sehingga bisa membeli 50 gram emas yang nilainya sekitar Rp 20 juta dalam waktu 4 bulan.

Namun bukannya untung, ternyata malah buntung. Besar "Ijaroh" yang dikenakan Bank Syariah tersebut jauh lebih besar daripada kenaikan harga emas. Akibatnya bu Yulia kapok main "Berkebun Emas" dan menyarankan yang lain untuk tidak mencobanya. Lalu ada lagi "paket Kredit Emas", dsb.

Jika makin banyak ummat Islam mencoba dan kecewa, mau dikemanakan muka Ekonomi Syariah?

Kenapa bisnis yang abal-abal dan tidak sesuai Syariah Islam (Spekulatif/Maisir) macam itu dijual ke masyarakat?

Kalau mau, ada cara lain yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan ajaran Islam. Dalam jangka panjang, cara ini insya Allah akan menguntungkan bagi ummat Islam.

Alhamdulillah saat ini telah berkembang banyak Bank-bank Syariah. Bukan hanya pemain lama seperti Bank Muamalat, namun Bank-bank yang sebelumnya bergerak di bidang Bank Konvensional pun sekarang membuka divisi Bank Syariah seperti Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah, Bukopin Syariah, dan sebagainya. Bahkan Bank-bank kelas dunia seperti Standard Chartered dan Citigroup pun membuat Bank Islam!

Dari Wikipedia disebutkan Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Citi Islamic Investment Bank (CIIB) dalam 5 tahun melakukan transaksi syariah sebesar US$ 7 milyar. Dari situs BI disebutkan pencapaian target asset tahun 2009 sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Secara bisnis, potensi Bank Syariah tidak diragukan lagi.

Namun itu bukanlah tujuan utama dari pendirian Bank Syariah. Tujuan utama Bank-bank Syariah adalah untuk menghilangkan riba/bunga yang dilarang ajaran Islam karena sangat memberatkan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” [Ali ‘Imran:130]

Sebagai contoh, jika kita meminjam kredit rumah sebesar Rp 100 juta dengan bunga 15%/tahun selama 15 tahun, maka besar uang yang kita kembalikan adalah Rp 813.706.163,- atau berlipat ganda sebanyak 8 kali lipat lebih.

Tidak jarang kita dengar orang yang rumahnya disita Bank karena tidak sanggup membayar pinjaman yang membengkak hingga berlipat ganda bersama bunganya.

Oleh karena itulah didirikan Bank Syariah dengan tujuan menghindari riba dan menggantinya dengan hal-hal yang dibolehkan ajaran Islam seperti Jual-Beli atau pun Bagi-Hasil.

“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [Al Baqarah:275]

Hukuman terhadap riba sangat keras. Itulah sebab berdirinya Bank-bank Syariah.

Meski demikian, tetap terdengar pendapat miring di masyarakat tentang Bank Syariah/Bank Syariah. Kenapa begitu?

Ini bukan berarti Sistem Islam yang keliru, melainkan karena praktek beberapa oknum Bank Syariah yang masih kurang sesuai dengan ajaran Islam sehingga timbul kesan Bank Syariah lebih memberatkan ketimbang Bank Konvensional.

Di sini penulis tidak ingin menyalahkan Bank Syariah. Namun sekedar memberi kritik dan masukan yang konstruktif sehingga Bank Syariah bisa lebih baik lagi.

Kenapa Bagi-Hasil Bank Syariah Tidak Beda Jauh dengan Bunga Bank Konvensional?

Umumnya jumlah Bagi-Hasil yang diberikan oleh Bank Syariah kepada nasabah bank tidak beda jauh dengan Bunga yang diberikan oleh Bank Konvensional. Bahkan cenderung lebih kecil. Sementara tambahan berupa “Margin Keuntungan” dari “Jual-Beli” yang dilakukan oleh Bank Syariah yang dikenakan pada “pembelinya” untuk pembiayaan (Murabahah) konsumtif seperti rumah dan kendaraaan justru lebih besar daripada Bunga Bank Konvensional.

Turun-naiknya Bagi-Hasil atau Keuntungan Bank Syariah tersebut bergerak mengikuti turun-naiknya bunga Bank Konvensional.

Beberapa orang berpendapat penyesuaian besar Bagi-Hasil atau Keuntungan Bank Syariah dengan bunga Bank Konvensional itu agar Bank Syariah tetap kompetitif. Sebab Bank Syariah itu baru berdiri.

Seharusnya Bank-bank Syariah berupaya mewujudkan ajaran-ajaran Islam sehingga bukan hanya aqad atau istilah saja yang berbeda dengan Bank Konvensional, tapi juga Bagi-Hasilnya pun jauh lebih memudahkan masyarakat karena secara substantif Bank Syariah itu lebih baik!

Murabahah: Jual-Beli atau Riba?
Penulis pernah mencoba meminjam uang untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) sebesar Rp 50 juta untuk 10 tahun. Dari Bank Konvensional didapat total uang yang harus dikembalikan penulis sebesar Rp 94 juta, sementara di satu Bank Syariah Rp 142 juta. Jumlah uang yang harus dikembalikan ke Bank Syariah justru Rp 48 juta lebih besar.

Aneh jika tambahan (riba) pada Bank Syariah justru berlipat ganda (hampir 3 x lipat) sementara pada Bank Konvensional kurang dari 2 x lipat. Padahal dalam Al Qur’an Allah melarang riba karena bunganya berlipat ganda dan memberatkan (Ali ‘Imran:130).

Menurut Habib Saleh, itu adalah Hiilah. Artinya mempermainkan hukum Allah sehingga hal yang haram bisa dibuat halal secara syar’ie. Habib tersebut mencontohkan, misalnya di Puncak ada orang yang ingin (maaf) bersetubuh dengan wanita yang bukan muhrimnya. Jika dilakukan begitu saja, maka itu adalah zina. Haram. Agar tidak haram, maka ada “Kiai” yang mengawinkan mereka berikut 2 saksi. Setelah itu baru mereka melakukan itu. Sehari dua hari, jika sudah puas, mereka pun bercerai.

Secara “syar’ie” itu mungkin halal. Namun Allah Maha Mengetahui isi hati manusia. Oleh karena itu Allah menilai sesuatu dari niat kita. “Innamal a’maalu bin niyaat” Sesungguhnya amal itu tergantung niat (muttafaq ‘alaihi). Dalam Islam, nikah merupakan ibadah dengan niat membentuk keluarga yang sakinah dan menghasilkan anak-anak yang saleh serta menghindari perceraian yang dibenci oleh Allah. Adakah niat orang yang ”nikah” di Puncak seperti itu? Mereka tidak ingin punya keluarga sakinah dari wanita yang dinikahinya atau pun memiliki anak-anak saleh. Sebelum nikah pun mereka sudah berniat melakukan hal yang dibenci Allah (cerai) satu atau dua hari setelah pernikahannya. Allah tidak bisa ditipu oleh hiilah semacam itu.

Sebagai contoh: Budi ingin beli rumah dari Hasan sebesar Rp 50 juta. Tapi tidak punya cukup uang. Akhirnya dia pergi ke Bank Syariah. Bank Syariah menyetujui pinjaman selama 10 tahun dengan pengembalian Rp 142 juta. Namun jika pinjam, itu adalah riba. Agar tidak riba, aqadnya diganti jadi “Jual-Beli”.

Bank Syariah membeli rumah tersebut dari Hasan. Kemudian dijual secara kredit kepada Budi selama 10 tahun dengan total pengembalian sebesar Rp 142 juta.

Secara syar’ie kelihatannya hal itu halal karena merupakan jual-beli. Namun kita tahu bahwa di situ terjadi 2 jual-beli dalam 1 transaksi. Yaitu Bank membeli rumah dari Hasan dan Bank menjual rumah kepada Budi. Jika Budi tidak mau membeli, niscaya Bank juga tidak mau membeli rumah tersebut. Nabi melarang 2 jual-beli dalam 1 transaksi jual-beli (HR Abu Daud, Ahmad, dan Nasa’i).

Lalu apakah Bank tidak boleh melakukan jual-beli?

Jawabnya boleh. Asal sungguh-sungguh merupakan jual-beli. Benar secara substantif. Bukan sekedar kosmetik!

Bank Syariah bisa bertindak selaku marketing bagi produk perumahan dan kendaraan dan mendapat komisi/upah dari situ. Agar penjualan Bank yang dilakukan secara cicilan dalam waktu lama tidak digerus inflasi, Bank bisa menjual dalam bentuk Dinar Emas yang lebih tahan terhadap inflasi. Bayangkan, jika pasar Rumah dan Kendaraan ada Rp 300 trilyun/tahun dan Bank dapat komisi penjualan 5% saja, maka sudah Rp 15 trilyun/tahun yang didapat!

Jika Bank turut membiayai pembangunan perumahan sehingga jadi satu pemegang saham dari perumahan tersebut tentu keuntungannya lebih banyak lagi.

Lemahnya Musyarakah dan Mudharabah
Sebetulnya Musyarakah dan Mudharabah adalah satu produk yang membedakan Bank Syariah dengan Bank Konvensional. Jika dikelola dengan baik, maka hal ini sangat menguntungkan.

Bank bisa menyediakan modal bagi para pengusaha dan nanti bukan hanya sekedar berbagi keuntungan, namun bisa menjadi syarikah/pemegang saham di perusahaan itu serta mendapat deviden yang tetap selama perusahaan berdiri dan untung.

Jika Bank Syariah punya Analis Bisnis yang baik yang bisa melihat apakah perusahaan yang akan dimodali prospek atau tidak, maka Bank Syariah ini bisa berkembang pesat baik aset mau pun keuntungannya. Analis Bisnis ini harus paham bidang bisnis mana yang menguntungkan dan mana yang tidak. Sebagai contoh, industri migas misalnya merupakan industri yang sangat menguntungkan ini terbukti dengan terpilihnya 7 perusahaan migas sebagai 10 perusahaan terkaya di dunia versi Forbes 500 dengan total pendapatan Rp 17 ribu trilyun lebih per tahun pada tahun 2007. Sebaliknya, industri retail dengan daya-beli masyarakat yang rendah cenderung megap-megap.

Sayangnya Bank Syariah umumnya kurang memiliki analis bisnis yang handal sehingga produk Musyarakah dan Mudharabah kurang menggema di masyarakat. Yang banyak terjadi justru “jual-beli” (baca: kredit konsumtif) untuk pembelian rumah dan kendaraan.

Mudah-mudahan ke depannya Bank-bank Syariah bisa merekrut analis bisnis yang kuat. Analis bisnis ini bukan hanya meneliti industri yang “aman” untuk investasi, tapi juga memberikan konsultasi, bimbingan, dan jaringan bagi calon mitra-usaha Bank Syariah. Riset Pasar dan Kinerja berbagai perusahaan di tiap industri serta model dan prosedur investasi harus dilakukan dan didokumentasikan dengan baik sehingga bisa menunjang pertumbuhan bukan hanya UKM, tapi juga mengembangkannya jadi perusahaan besar.

Agen Mata Uang Islam Dinar dan Dirham (Dinar/Dirham Money Changer)
Di hadits Bukhari disebut bahwa di zaman Nabi dengan 1 dinar orang bisa membeli 1-2 ekor kambing. Satu dinar adalah mata uang dari emas 22 karat seberat 4,25 gram. Saat ini 1 dinar sekitar Rp 1.500.000,-. Ternyata hingga saat ini pun setelah 1.400 tahun lebih, harga kambing tidak jauh beda.

Pada tahun 1972, Ongkos Naik Haji (ONH) sebesar Rp 182.000,- Sekarang di tahun 2009 sekitar US$ 3.500 (Rp 36.750.000). Nilai rupiah turun 201 kali lipat lebih tergerus inflasi. Padahal dinilai dengan emas biaya ONH itu relatif sama, yaitu sekitar 100 gram emas!

Mata uang emas adalah mata uang yang nyaris tidak tergerus inflasi dan stabil nilainya sehingga memberi perlindungan bagi pemakainya. Orang yang penghasilannya memakai uang kertas akan jatuh miskin jika kenaikan gajinya tidak sebanding dengan kenaikan inflasi. Ini adalah pemiskinan massal yang menyedihkan. Nasabah pun enggan menabung dengan uang yang nilainya merosot terus tanpa tambahan bunga atau bagi hasil.

Sebagai institusi perbankan, Bank Syariah jangan hanya menyediakan jual-beli valas seperti Dollar AS. Ini akan membuat Bank Syariah tidak beda jauh dengan Bank Konvensional dan tidak punya nilai tambah.

Tapi Bank Syariah juga harus menyediakan jual-beli mata uang Islam berupa Dinar Emas dan Dirham Perak.

Saat ini umumnya masyarakat membeli dollar dengan pertimbangan nilai dollar lebih stabil dari nilai rupiah. Padahal ini hanya akan membuat nilai rupiah jatuh. Negara kita juga mengalami kesulitan jika harus mendapatkan dollar karena hanya negara AS yang bisa membuat dollar (monopoli).

Untuk mendapatkan dollar AS, pemerintah kita harus menjual kekayaan alam, menjual BUMN, berhutang ke berbagai lembaga keuangan, mengundang investor, dan sebagainya. Sementara negara AS untuk mendapat dollar AS tinggal “memencet tombol printer dollar” saja. Ini jelas satu hal yang tidak adil dan membuat Indonesia pada posisi yang lemah. Akibatnya, mata uang rupiah berkali-kali turun nilainya sehingga ketika pada tahun 1946 kurs 1 US$ = Rp 1,88, sekarang jadi sekitar Rp 10.000!

Transaksi valas ini setiap tahun nilainya sekitar Rp 7.000 trilyun dengan margin keuntungan (spread jual-beli) sekitar Rp 500 trilyun/tahun!

Bank Syariah bisa menyediakan jual-beli Dinar Emas dan Dirham Perak bagi masyarakat. Nilai emas dan perak yang jauh lebih stabil dari dollar lebih menaik bagi masyarakat. Bahkan ada seorang Non Muslim yang bertanya di blog saya apakah orang bukan Muslim boleh membeli Dinar emas. Di situs Media Islam (www.media-islam.or.id), artikel “Di mana Saya Bisa Mendapat Dinar Emas” sering mendapat peringkat pertama untuk tulisan yang paling sering dibaca. Itu menunjukkan minat masyarakat terhadap mata uang Dinar Emas dan Dirham Perak sangat besar.

Jika Bank Syariah menyediakan jual-beli mata uang Islam tersebut, maka ini bukan hanya ibadah untuk mengikuti sunnah Nabi yang dulunya menggunakan mata uang Dinar dan Dirham, tapi juga peluang keuntungan dari jual-beli tersebut. Seandainya jual-beli Dinar ini mendapat 10% saja dari margin keuntungan valas, maka Bank Syariah bisa mendapat keuntungan Rp 50 trilyun/tahun! Dan ini peluangnya sangat besar mengingat Bank Konvensional belum melirik jual-beli Dinar.

Jika masyarakat berpaling dari Dollar ke Dinar, maka mata uang kita jadi lebih kuat dan kita juga jadi lebih mandiri karena kita tidak perlu “mengemis” ke AS untuk mendapatkan dollar. Ini karena kita memiliki sendiri sumber daya emas yang merupakan bahan mata uang Dinar. Bank Syariah harus bisa menjadi agen perubahan untuk ini.

Menjadi Agen Ukhuwah Islamiyah
Umumnya Bank memiliki banyak nasabah atau pun peminjam. Jumlahnya bisa mencapai jutaan. Dengan pengelolaan database yang baik, Bank Syariah bisa menganalisa profesi atau pun bisnis yang digeluti nasabahnya. Dengan melihat besarnya simpanan, Bank bisa mengambil kesimpulan awal profesi/bisnis mana yang menguntungkan.

Begitu pula dengan Database peminjam atau pun sebagai Mitra Usaha. Dari profit sharing yang diberikan, Bank bisa tahu usaha mana yang prospek dan tidak menimbulkan “kredit macet.”

Umumnya, nasabah Bank Syariah memiliki kecintaan agama yang tinggi. Tidak ada salahnya jika Bank Syariah mengadakan gathering/pertemuan dengan nasabahnya. Di situ selain bisa mendengar taushiyah dari ulama/pakar bisnis yang terkenal, para nasabah juga bisa berbagi kiat bisnis yang digelutinya serta berkenalan (ta’aruf) dengan nasabah lainnya.

Dengan mengadakan silaturrahim seperti ini, diharapkan Bank Syariah bukan sekedar Bank Biasa. More than just banking!

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers