Wednesday, August 24, 2011

Potensi Maritim Indonesia

Bangsa Indonesia harus hidup dengan dan dari laut, kalimat yang sering terdengar bila ada peringatan hari laut yang diadakan setiap bulan Juni dan maupun hari kemerdekaan RI bulan Agustus, kekuatan Bangsa dikaitkan dengan kekuatan laut, teknologi ataupun penelitian kelautan, eksplorasi sumber daya kelautan, atau yang lebih aktual membicarakan tentang pembangunan pulau-pulau terpencil perbatasan di lautan.

Masihkah relevan menyebut Indonesia dalam usia kemerdekaan ke 66 tahun sebagai negara bahari atau negara maritim jika hal ini menimbulkan sebuah ironi sebagai negeri kaya bahari apabila belum mampu meningkatkan pengamanan kekayaan sumber-sumber daya kelautan, "lembek" mencegah pelanggaran teritorial laut sehingga mudah menimbulkan emosi rakyat terhadap negara jiran, menimbulkan kerugian miliaran rupiah setiap tahun akibat pencurian dan perdagangan illegal lintas batas darat di perbatasan?

Ironi Kekayaan SDA

Bicara tentang Laut Indonesia sungguh membuah miris kita, karena bicara laut maka kita bicara tentang sumber-sumber keunggulan bangsa yang belum dimanfaatkan secara maksimal karena kejayaan NKRI dapat diketahui dari kekuatan sumber daya kelautannya yang memberikan andil bagi kesejahteraan Republik Indonesia (RI) melalui sumbangan devisa negara dari sumber minyak dan gas (migas) sampai sekarang.

Di laut kita dapat menghasilkan ratusan triliun devisa dengan berbagai potensi energi terbarukan, masa habis 2 abad berupa hidrat gas dan gas biogenik serta energi-energi kelautan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi sumber daya hayati laut yaitu lebih dari 2.000 spesies ikan, lebih dari 80 genera terumbu karang atau sekitar 17,95 persen di dunia, 850 jenis sponge, padang lamun dan kimia terbanyak didunia serta hutan mangrove menyimpan potensi 6,5 juta ton ikan, dapat dimanfaatkan nelayan 5,01 juta ton ikan di hamparan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi, sebalik negeri jiran banyak memanfaatkan potensi kelautan RI dengan meningkatkan penguasaan teknologi penangkapan perikanan sehingga RI rugi mencapai 100 milyar rupiah per tahun.

Sebagai negara maritim terbesar kedua dunia Indonesia seharusnya sudah mampu mengurangi tingkat kemiskinan karena kejayaan bangsa ada di laut, namun pemanfaatan sumber daya geologi kelautan mengalami kendala oleh peraturan dan regulasi undang-undang migas yang sangat merugikan RI sehingga Pertamina sebagai perusahaan negara harus mengakusisi anak perusahaan satu persatu agar dapat ikut tender proyek yang ada di berbagai blok (ladang minyak) di Indonesia seperti misalnya blok Ambalat dan blok Alfa D Natuna merupakan dua dari 11 sumber keunggulan kekayaan migas laut sedang di eksplorasi di wilayah Indonesia yang menghasilkan lebih dari 11.3 miliar barel dengan luas 6.700 km dan terdapat juga 60 cekungan minyak dan gas bumi dan belum lagi 29 cekungan baru yang mengandung 9,1 trilium barel migas tersebar di Laut-Selat Sulawesi, Maluku, Timor dan Samudera Indonesia di Pantai Barat Sumatera.

Di antara 60 cekungan migas tersebut 70 persen diantaranya di lautan, selebihnya 30 persen di daratan Kalimantan, Sumatera, Papua dan Sulawesi. Dari 60 cekungan tersebut, 20 diantaranya minyak bumi baru dikelola dengan kapasitas mencapai 2,13 miliar barel, cadangan gas bumi mencapai 112,5 trilium kaki kubik. Diperkirakan total sumber daya minyak bumi di perairan laut Indonesia adalah 40,1 miliar barel, gas bumi 217,7 trilium kaki kubik. Ini melukai nurani rakyat, sebab perusahaan Indonesia hanya mendapatkan porsi sedikit untuk konsesi migas sebesar 15 persen, selebihnya di dominasi perusahaan asing seperti Exxon Mobil Oil, Conoco Phillips, dan lain-lain.

Selain itu, RI memiliki keunggulan historis pelayaran kapal di laut karena memiliki luas laut 3.1 juta km2 yang banyak menyimpan harta karun yang tenggelam dan terpendam di dasar laut dengan nilai tinggi, dapat membantu melunaskan hutang luar negeri yang menghasilkan nilai 100 triliun, seharusnya mampu dijadikan bergaiming position bagi negara disekitarnya yaitu melakukan tindakan penghadangan dan tidak memberikan jalur parairan pelayaran bagi nelayan asing yang melanggar kedaulatan teritorial maritim RI kepada negara asing bersangkutan, tidak memberi izin tangkap dan menutup jalur khusus pelayaran bagi negara yang belum jelas kemauan untuk menentukan batas wilayah perairan walau resiko mendapat protes anggota PBB.

Ini sangat ironis sekali, karena negara asing lebih memanfaatkan potensi dan data-data sebarannya serta keunggulan teknologi mereka kuasai sehingga Indonesia seperti negara penonton, bereaksi pelan dan lembek.

Ironi Kualitas SDM

Bagaimana mau menjadi Negara Bahari yang tangguh jika kualitas sumber daya manusia yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara bukan kepulauan dan menguasai kekuatan bahari itu sebagai salah satu keunggulan bangsa untuk peningkatan kesejahteraan bila pemerintah masih fokus pada pembangunan daratan dan pulau-pulau perbatasan terabaikan sehingga dapat mengancam keutuhan NKRI karena laut merupakan bagian perekat bagi kejayaan bangsa. Sejarah sudah berbicara, bahwa kejayaan masa lalu Nusantara (Indonesia) di mulai dari lautan oleh dua kerajaan yang menguasai imperium Asia Tenggara yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, sehingga bangsa Indonesia dapat disebut negara maritim, negara bahari.

Indonesia memiliki banyak pakar hukum kelautan tetapi masih memerlukan orang-orang yang menekuni aspek teknis hukum laut terutama memanfaatkan kemampuan akademis di bidang ilmu kebumian khusus yaitu Geologi, Geodesi, Geofisika, Nautika-Hidrografi untuk mendukung Tim Batas Maritim Indonesia dimasa sekarang dalam penentuan batas Maritim. Bukan berarti pakar yang ada sekarang tidak mumpuni, kuantitas perlu ditingkatkan dan regenerasi adalah hal yang tidak bisa diabaikan.

Kelemahan ini semakin tragis, sebab banyak peluang fellowship tidak termanfaatkan dengan baik sehingga kualitas SDM masih terbatas dan tertinggal jauh dalam mengelola sumber-sumber daya ekonomi kelautan karena dukungan SDM kebumian di bidang khusus kelautan belum mencapai 1.000 sarjana, spesialisasi S2-S3 tidak mencapai 100 orang ilmuwan dari total 4.000 sarjana disiplin ilmu kebumian seperti geologi, geodesi-tematik, geofisika kelautan dan Nautika-Oceanos-hidrografi sehingga tidak pernah menyentuh akar permasalahan pembangunan kelautan dan pulau perbatasan.

Begitu juga dalam implementasi pendirian pusat studi yang mengkaji isu batas maritim di beberapa wilayah antar pulau di Indonesia masih terbatas pada wacana. Dan dilain pihak, pemerintah lebih memfokuskan pada pengembangan kajian isu-isu politik kekuatan di parlemen sehingga lalai memikirkan pembangunan sumber daya kebumian di bidang kelautan dan Negara lain memanfaatkan hal ini untuk menekan regulasi dan menguras sumber-sumber daya kelautan. Semua hal tersebut harus dijadikan cara belajar dari pengalaman lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia.

Ironi Pelabuhan Laut

Faktor lain yang membuat ironi yaitu terbatasnya pengawasan laut karena jumlah pelabuhan laut yang menghubungkan antar pulau dan pembangunan pelabuhan laut yang tidak mendukung integrasi NKRI tidak menyebar merata, memerlukan penambahan jumlah 21 pelabuhan besar. Rasio perbandingan antara luas panjang pantai dengan jumlah pelabuhan yaitu 1 pelabuhan melayani 4.500 kilometer panjang pantai. Perbandingan luas perairan laut teritorial Indonesia yang terdiri laut nasional 3.166.163 km2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) 2.2.42.437 km, jumlah dukungan empat pelabuhan laut (hub port sea) besar yang menghubungkan panjang laut 61.146.075 km dengan sebaran pulau besar-kecil 17.000 masih sangat terbatas, diperparah ketertinggalan peralatan teknologi dan keamanan dibawah kualitas standar pelabuhan laut internasional.

Tidaklah mengherankan berbagai aktivitas illegal oleh Negara-negara tetangga dalam mencuri sumber daya kelautan Indonesia karena posisi TNI AL tidak semua di lokasi penangkapan ikan oleh nelayan asing sehingga dengan teknologi canggih pihak Malaysia mampu masuk karena terlebih dahulu mendeteksi posisi TNI AL menyebabkan kerugian ratusan miliar tiap tahun dan merupakan ancaman serius dimasa mendatang apabila pemerintah tidak menyusun suatu landasan utama pembangunan pulau terdepan.

Perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja dengan deklarasinya di tahun 1958, melahirkan konsep Wawasan Nusantara harus dijadikan inspirasi dan momentum bagi kebangkitan Indonesia dalam usia kemerdekaan ke 66 tahun dari keterpurukan krisis ekonomi dengan memanfaatkan keunggulan luas lautan dan sebagai negara bahari yang artinya adalah bangsa lautan, "Nenek moyangku adalah bangsa pelaut".

Agar unggul sebagai Bangsa Maritim tangguh maka pemerintah dan institusi pendidikan sudah semestinya memberi dukungan prioritas utama pembangunan SDM yang berkualitas dan juga kegiatan penelitian yang terkait batas maritim Indonesia, peningkatan anggaran peremajaan alusita Kapal Perang TNI AL, dan pembangunan infrastruktur fisik di perbatasan. Niscaya kita akan jaya di laut. "Yalesveva Jayamahe". ***
 
Jorganizer Hamdani
024-7060.9694 (flexy)
hope 4 the best n prepare 4 the worst
knowing is nothing without applying

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers