Friday, August 26, 2011

Kesederhanaan Pemimpin Di Awal Berdirinya Republik

Presiden SBY menghabiskan Rp 839 juta hanya untuk urusan bajunya. Untuk penyusunan pidatonya saja, Presiden SBY pun harus menggerus dana APBN sebesar Rp1,9 milyar. Sedangkan untuk kebutuhan pengamanan pribadi, presiden SBY juga menggelontorkan uang APBN sebesar Rp52 milyar.

Rata-rata pejabat di negeri ini seperti itu. Mereka "tega" hidup mewah di tengah-tengah kemiskinan yang mencekik rakyatnya. Mereka juga kebal dengan kritik dan tidak punya rasa malu lagi. Kalaupun ada yang rela hidup sederhana, maka perilaku orang itu dianggap anomali dalam kehidupan politik sekarang.

Tetapi dulu, ketika Republik Indonesia ini baru lahir, para pemimpinnya hidup sangat sederhana. Pernyataan kemerdekaan pun berlangsung sederhana: bendera merah-putih hanya digerek di sebatang bambu yang baru saja dipotong. Bendera kebangsaan pun hanya dua potong kain, merah dan putih, yang dijahit sendiri oleh istri Presiden.

Ketika baru saja dilantik menjadi Presiden, Bung Karno hanya merayakannya dengan "lima puluh tusuk sate ayam". "Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta pengangkatanku sebagai kepala negara," kenang Bung Karno dalam buku otobiografi, Soekarno penyambung lidah rakyat.

Ketika itu presiden belum punya mobil kepresidenan. Sudiro, seorang  pejuang dan aktivis Menteng 31, mengambil paksa mobil buck besar milik Kepala Jawatan Kereta Api Jepang. Mobil itu sanggup memuat tujuh orang dan merupakan mobil paling mewah di Jakarta saat itu.

Juga, pada saat itu, untuk menyebarkan semangat kemerdekaan kepada rakyat, maka dibikinlah 10 juta bendera merah-putih. Semua bendera itu dibuat dari kertas biasa, lalu diserbakan ke seluruh pelosok tanah air.

Saat itu presiden belum menerima gaji. Jangankan untuk membeli pakaian mahal, kebutuhan untuk makan saja kadang tidak memadai. Pernah terjadi, pada suatu malam, Bung Karno dan menteri-menterinya menggelar rapat darurat. Malam sudah larut, tetapi tidak ada kopi dan sepotong roti pun untuk disantap. Tukimin, salah seorang pembantu Bung Karno, mengambil inisiatif untuk keluar mencari makanan.

Lalu, soal pakaian. Jika kita lihat pakaian Bung Karno di era itu, ia tampak gagah dengan uniform semi-militer. Rupanya, sebagian besar pakaian Bung Karno itu dijahit sendiri. Pernah suatu hari Bung Karno mendapat hadiah berupa pakaian bekas milik korp tentara wanita Australia. Ia mempermak sendiri pakaian wanita itu dan mengubahnya menjadi sebuah uniform seorang presiden.

Ketika sekutu dan NICA mulai masuk Jakarta, situasi pun tidak aman. Presiden Soekarno berkali-kali mendapat ancaman pembunuhan, bahkan berkali-kali diberondong peluru. Alhasil, bung Karno dan istrinya harus berpindah-pindah tempat dan kadang-kadang menginap di rumah penduduk.

Kadang-kadang, seperti diceritakannya kepada Cindy Adams, Soekarno harus tidur meringkuk dalam tikar di atas ubin yang lembab. Istrinya, Fatmawati, pun harus bersabar untuk tidur di atas tikar itu.

Pada tahun 1946, ketika Ibukota sudah pindah ke Jogja, Bung Karno berkantor di gedung bekas kantor Gubernur di jaman Belanda. Gedung itu sama sekali tidak memiliki perabot. Semua isinya sudah diangkut Jepang.

Alhasil, ketika presiden akan menerima tamu-tamu negara, Bung Karno pun kebingungan mencari perabot rumah tangga. "Apa akal kita untuk mendapatkan piring," tanya Bung Karno kepada Mutahar, protokol istana negara saat itu.

"Mudah saja," jawab Mutahar dengan tenang. Ia lalu pergi ke sebuah restoran Tionghoa dan meminjam sendok dan barang pecah-belah di sana. Tetapi tidak ada taplak meja. Mutahar pun kembali mengetok pintu rumah penduduk dan meminjam taplak meja warna putih di sana.

Pernah suatu hari, ketika Presiden menyambut tamu dari Philipina, yang disajikan hanyalah secangkir air putih. "Kami tidak punya anggur. Jadi dia hanya minum air, karena itulah yang ada pada kami," kata Bung Karno.

Kesederhanaan semacam ini bukan hanya terjadi pada Bung Karno. Sebagian besar pemimpin Republik saat itu adalah orang-orang sederhana. Jenderal Soedirman, panglima besar TNI saat itu, hanya menerima pakaian kiriman Bung Karno. Pakaian itu lalu dijahit oleh Soedirman, lalu dipergunakan pada upacara HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1949.

Lihat pula kisah Bung Hatta, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 1950-an, ia sangat ingin memiliki sepatu Bally—sepatu bermutu tinggi saat itu. Karena tidak punya uang yang cukup, Bung Hatta menabung cukup lama untuk bisa membeli sepatu bermerek itu.

Begitulah kesederhanaan para pemimpin Republik saat itu. Akan tetapi, di dalam kesederhanaan itu terdapat semangat dan pengabdian yang sangat besar. Mereka rela berkorban apapun demi bangsa dan rakyatnya.

Mungkin, jika Lord Acton melihat kehidupan pemimpin Indonesia saat itu, ia tidak akan buru-buru mengeluarkan kesimpulan: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."
 
Jorganizer Hamdani
024-7060.9694 (flexy)
hope 4 the best n prepare 4 the worst
knowing is nothing without applying

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers