Sunday, May 22, 2011

[ppiindia] [Historia] “Haji Merah” Dalam Perjuangan Anti-Kolonialisme

Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, KH Tubagus Achmad Chatib. Nama-nama ini tidak tercantumkan dalam deretan pejuang kemerdekaan versi resmi (pemerintah). Padahal, kontribusi mereka sangatlah besar dalam perjuangan anti-kolonialisme. Mereka pun sering disebut "Haji Merah".

Penyebab utamanya adalah karena mereka mendukung ideologi yang dimusuhi secara resmi oleh negara, yaitu komunisme. Padahal, bagaimanapun mau disembunyikan, pengaruh marxisme dalam perjuangan anti-kolonial sangatlah besar, bahkan lebih besar dibanding ideologi manapun.

Bukankah Bung Karno, bapak dari perjuangan anti-kolonialisme bangsa Indonesia, dalam pengantar memperingati 50 tahun wafatnya Karl Marx, pernah berkata: "Nasionalisme di dunia Timur itu lantas "berkawinlah" dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme
baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia."

Padahal, sebagaimana juga dengan islamisme ataupun nasionalisme saat itu, menjadi komunis adalah soal pilihan tentang cara atau jalur berjuang yang dianggap benar dan terbukti konsisten untuk menghilangkan penindasan dalam masyarakat banyak, termasuk melawan kolonialisme saat itu.

Kerjasama Islam Dan Komunis

Sejarah komunis islam atau islam komunis tidak bisa dipisahkan dari kerjasama PKI dan Sarekat Islam. Sejarah kerjamasama secara formal diantara kedua golongan ini cukup panjang, yaitu dari 1916 hingga 1921 (keluarnya keputusan disiplin partai).

Dari proses kerjasama itulah ISDV–Indische Sociaal-Democratische Vereniging alias Perhimpunan Sosial Demokrasi di Hindia–merekrut banyak sekali anggota dari kalangan pribumi, seperti Semaun, Tan Malaka, Musso, Alimin, dan Darsono.

ISDV sendiri tidak secara kaku melabeli SI sebagai gerakan islamis murni, meskipun unsur-unsur keagamaan sangat kuat dalam organisasi yang didirikan oleh HOS Tjokroaminoto itu. Bars, seorang pemimpin ISDV, menyebut SI sebagai versi Indonesia dari gerakan Chartist–sebuah gerakan buruh di Inggris pada tahun 1930.

Dalam SI sendiri, gagasan mengenai sosialisme, yaitu suatu sistim sosial yang menghilangkan penindasan manusia atas manusia, tidaklah ditolak. Tjokroaminoto, misalnya, ketika berbicara dalam kongres CSI di Batavia, mengatakan:

"..Yang kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai (tahap) pemerintahannya sendiri. CSI menentang KAPITALISME. CSI tidak mentolerir dominasi manusia terhadap manusia
lainnya."

Inilah yang memungkinkan SI menjadi lahan subur bagi bagi propaganda ISDV/komunis, dan sekaligus memungkinkannya merekrut anggota paling militan dan radikal dari cabang-cabang SI.

Tetapi, apa yang ditolak kemudian oleh SI, terutama setelah menguatnya pengaruh kaum konservatif di tubuh SI di satu pihak dan penguatan kaum komunis mentok di pihak lain, adalah pandangan materialisme historis yang dianggap atheis. Ini merupakan hal yang umum dalam gerakan nasionalis di Indonesia, termasuk Soekarno sendiri, yang meskipun mengaku marxis dan mempraktekkannya tetapi menolak materialisme historis.

Tetapi, dasar kerjasama SI dan PKI lebih ke politik, yaitu penyatuan kekuatan untuk kolonialisme dan perusahaan-perusahaannya, ketimbang usaha menyamakan dasar-dasar berfikir mereka. SI mengakui keunggulan orang-orang PKI dalam pemogokan maupun perlawanan melawan kolonial Belanda.

Sementara perpecahan antara SI dan PKI lebih didorong oleh dua hal: pertama, pertikaian yang bersifat pribadi seperti serangan Darsono kepada Tjokroaminoto, dan kedua, provokasi atau politik pecah belah oleh Belanda dengan memanfaatkan isu bahwa PKI itu Atheis dan memusuhi Pan-Islamisme.

Islam Komunis

Untuk mengenal lebih jauh makhluk bernama "Islam Komunis", ada baiknya mengenal sosok Haji Misbach terlebih dahulu. Misbach adalah seorang mubaligh didikan pesantren, bisa berbahasa Arab, dan pernah menunaikan ibadah suci ke Mekah dan Madinah.

Dia sendiri tidak memperkenalkan dirinya sebagai Haji, tapi lebih senang dipanggil Mohammad Misbach. Pergumulannya dengan rakyat Jelata membuat Misbach lebih suka mengenakan kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti kebanyakan haji. Selain dengan Sarekat Islam, dia juga pernah bergabung dalam Insulinde, organisasi kaum nasionalis radikal yang didirikan oleh tiga serangkai–Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, dan Deuwes Dekker. Melalui organisasi ini pula Misbach bersentuhan dengan kaum tani di pedalaman Surakarta.

Terkait hubungan islam dan komunisme, Haji Misbach berpendapat bahwa ada kesesuaian antara Qur,an dan komunisme. "Quran, misalnya, menetapkan bahwa merupakan kewajiban setiap muslim untuk mengakui hak azasi manusia, dan pokok ini juga ada dalam prinsip-prinsip program komunis," kata Misbach dalam kongres PKI/SI Merah di Bandung, pada
tahun 1923.

Selanjutnya, menurut Misbach, perintah Tuhan adalah kita harus berjuang melawan penindasan dan penghisapan. "Ini juga salah satu sasaran komunisme," kata Misbach lebih lanjut.

Misbach memahami imperialisme dan kapitalisme sebagai usaha lain dari setan untuk menjauhkan muslim dari Allah, sedangkan perjuangan komunis melawan imperialisme sebagai ujian untuk membuktikan kesetiaan kepada Allah. "Siapa yang tidak bisa menerima prinsip-prinsip komunisme berarti dia belum benar-benar muslim," kata Misbach dalam kesimpulan pidatonya di kongres PKI/SI merah.

Pandangan Misbach ini sangat menarik bagi dua orang mubaligh dari Sumatera: Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin. Sekembalinya dari kongres PKI tersebut, Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin pun mulai menyebarkan persamaan antara Islam dan Komunisme dalam menentang kolonialisme dan kapitalisme. Suara-suara mereka disampaikan melalui dua koran lokal, yaitu Pemandangan Islam dan Djago-djago.

Meskipun begitu, perkembangan komunisme islam bukan tanpa tantangan, bahkan itu juga terjadi di kalangan PKI sendiri. Beberapa pimpinan PKI, terutama yang doktriner dan menganut garis paten dari komunis internasional, mulai merasa terganggu oleh propaganda Haji Misbach dan rekan-rekannya.

Dalam tulisannya, Islamisme dan Komunisme, terbit tahun 1925, Misbach menjelaskan panjang lebar kesalahan baik orang islam yang menolak komunisme maupun kaum komunis yang hendak melenyapkan islam. "…akan tetapi mereka masih suka mengeluarkan fikiran yang bermaksud melenyapkan islam, itulah saya berani mengatakan bahwa mereka bukan komunis yang sejati atau mereka belum mengerti duduknya komunis; pun sebaliknya,
orang yang mengaku dirinya islam tetapi tidak setuju adanya komunisme, saya berani mengatakan bahwa mereka bukan islam yang sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama islam," kata Misbach dalam nomor pertama tulisan "Islamisme dan Komunisme".

Para Haji Dalam Perjuangan Anti-kolonial

Para mubaligh itu bukan sekedar berpropaganda dan membuat koran untuk menyiarkan gagasannya, tetapi juga telah menjadi pengurus PKI/Sarekat Rakyat di daerah masing-masing.

Misbach, misalnya, di Surakarta, menjadi pengurus PKI cabang setempat. Ia mendirikan "Informatie kantoor' dirumahnya, sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat dan membuka kursus-kursus tata-buku dalam bahasa Melayu dan Jawa. Tempat itu juga menjadi tempat pertemuan para aktivis pergerakan, sehingga penguasa kolonial harus mengirimkan informan untuk mematai-matai rumah itu 24 jam.

Ketika suasana kota Surakarta makin memanas, ditandai dengan meluasya aksi sabotase dan pembakaran, penguasa kolonial menuduh Misbach sebagai otaknya. Misbach ditangkap oleh penguasa kolonial dan kemudian dibuang ke Wanokwari, Papua.

Akan tetapi, pembuangan tidak membuat Misbach berhenti bergerak, dan ia pun masih mendirikan Sarekat Rakyat cabang Manokwari, yang keanggotannya tidak pernah lebih dari 20 karena gangguan Polisi Belanda. Misbach terus melawan hingga akhir hayatnya di tahun 1926, setelah ia terserang Malaria.

Sebelum pemberontakan 1927 di Sumatera, ada tiga titik kegiatan politik paling radikal dan paling keras melawan Belanda di sana, yaitu: Padang Panjang, Silungkang, dan Padang. Ketiga daerah itu tidak lepas dari pengaruh Haji-haji merah yang beraliran komunis, seperti Haji Datuk Batuah, Natar Zainuddin, dan Djamaluddin Tamin.

Dan, kalau mau dibilang, sebagaian besar yang menggerakan struktur PKI di daerah-daerah, melalui Sarekat Rakyat (SR), adalah para kiai atau haji-haji merah. Pemberontakan rakyat pada tahun 1926-27 adalah juga sebagian digerakkan oleh para kiai dan pemuka agama. Ini bisa dilihat dari nama-nama pemimpin PKI yang dibuang ke Digul, seperti Ali Archam, Mas Marco Kartodikromo, Kyai Maskur (ayah MH Lukman, pimpinan PKI tahun 1950-1960an), Kiai Dardiri Ramidjo alias Kiai Anom (ayah Ramidjo
Trikoyo) dan KH Tubagus Achmad Chatib, pemimpin pemberontakan PKI di Banten.

Ini adalah fakta sejarah, tidak bisa dinafikan apalagi mau dihapuskan. Apa yang perlu diketahui adalah mengapa para kiai tertarik bergabung dengan PKI. Menurut saya, ada beberapa faktor yang membuat PKI menarik bagi para Kiai: Pertama, kemampuan propagandis PKI untuk menghubungkan persoalan rakyat dan kolonialisme, lalu menyeleraskannya antara tujuan islam dan komunisme dalam pembebasan rakyat itu. Kedua, PKI/SR tampil sebagai organisasi politik yang paling bisa membangkitkan rakyat, tahu cara mengorganisasikan perjuangan itu, dan menolak kompromi dengan
penguasa kolonial.

1 comment:

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers