Tuesday, April 5, 2011

THE SUSTAINABLE BRAND OF ‘THE NEXT INDONESIAN IDOL’

Dear Profesional, tulisan ini ditulis pada tahun 2006 atas permintaan sebuah media nasional terkemuka dan dipublikasikan sebagai artikel di beberapa universitas di Amerika Serikat, Malaysia dan Singapore, walaupun sudah berlalu, namun contextnya masih dapat digunakan dalam aplikasi kehidupan saat ini.

Malam minggu dalam persektif kaum muda, terutama kaum muda, merupakan uniquely of nite, memiliki value tersendiri dan malam yang begitu dinanti oleh hampir setiap insan di semua segmen umur, baik tua, muda, bahkan anak-anak sekalipun. Setiap segmen umur memiliki aktivitas yang jauh berbeda dengan segmen umur lainnya. Namun malam, 19 Agustus 2006 merupakan malam yang ‘agak beda’ karena pada malam itu hampir semua segmen di negeri ini pada malam ini memiliki, aktivitas yang sama, yaitu ‘menyaksikan siaran langsung Indonesia Idol yang ditayangkan oleh RCTI. Dapat dipastikan media riset AC Nielsen akan mencatat ‘Indonesia Idol’ malam ini sebagai acara dengan rating terbaik sepanjang 2006. Mungkin hanya ‘Final Piala Dunia Jerman 2006’ yang mampu mengalahkan rating ‘kompetisi’ yang merupakan ajang pencari bakat terbesar dan termegah di negeri ini.

Ekuitas ‘indonesia idol’ yang begitu baik secara langsung berpengaruh terhadap ‘harga iklan’ yang tayang disana, diperkirakan 2-3 kali dari harga iklan ‘prime time’ di hari-hari biasa. Hampir semua pemirsa sangat emosional dan tak sabar menunggu siapa ‘The Next Indonesia Idol’, Dirly atau Ikhsan! Jangankan untuk pindah ‘channel’ pindah tempat duduk, untuk berdiri sejenakpun pemirsa begitu enggan. Mereka dengan setia ‘duduk manis’ di depan televisi, mengikuti acara dengan seksama, bahkan ‘rela dipaksa’ menonton iklan secara utuh, yang jika ditayangkan pada moment lain, kemungkinan besar mereka ‘ogah’ dan pindah channel.

BELANJA IKLAN DAN PERILAKU PEMIRSA TELEVISI

Meskipun pertumbuhan belanja iklan di Indonesia merupakan kedua tertinggi setelah Cina, namun sekitar 53,7% dari pemirsa TV Indonesia menggunakan jeda iklan untuk melakukan aktivitas lain. Dan, 53% dari mereka selalu berganti saluran selama jeda iklan. Temuan tersebut diperoleh dari riset yang dilakukan perusahaan komunikasi Lowe Indonesia bekerja sama dengan perusahaan penelitian Prompt. Riset tersebut bersifat kuantitatif dan berskala nasional. Metodenya melalui wawancara langsung terhadap 2.086 konsumen yang berasal dari perkotaan dan pedesaan, pria dan wanita dari semua kelas sosial dan ekonomi dan tingkat pendidikan.

Temuan tersebut cukup mengejutkan, terutama karena 54% dari belanja iklan tahun lalu sebenarnya disalurkan ke stasiun-stasiun TV di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Ini menunjukkan perlawanan terhadap iklan di Indonesia cukup kuat, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan di Cina (75%). Namun, dari temuan itu ada benang merah yang mesti diperhatikan insan periklanan, yakni perlunya teknik periklanan yang lebih baik. Tentunya, bisa dengan mempertimbangkan temuan-temuan lain dari riset ini yang menunjukkan bahwa: 80,47% pemirsa TV menyatakan menyukai iklan yang lucu dan 66% lebih menyukai iklan yang memberikan lebih banyak informasi mengenai produk yang diiklankan. Selain itu, temuan Lowe juga menunjukkan bahwa 74% pemirsa Indonesia menonton berita kriminal, 66% menonton sinetron, 54% menonton tayangan misteri dan 53% menonton infotainment dan reality show. Uniknya, riset tersebut juga mengungkapkan bahwa sepertiga pemirsa TV mengaku menonton seluruh tayangan, entah mereka menyukai atau tidak. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemirsa TV Indonesia semua acara tersebut karena tidak memperoleh program-program TV alternatif yang bermutu. Kenyataan ini sebagai wake up call bagi produser TV program, baik independen maupun in-house, bahwa penonton Indonesia mencari isi program yang baru, salah satunya, Indonesian Idol.

IKLAN TELEVISI DAN BRAND AWARENESS

Harus diakui, bahkan hampir tidak dapat dipungkiri bahwa media televisi merupakan sarana paling ampuh untuk membangun awareness sebuah produk. Riset-riset yang dilakukan oleh hampir semua lembaga riset, bahkan AC Nielsen sekali pun mengatakan, lebih dari 90% awarenes konsumen terhadap sebuah merek produk berasal dari ‘iklan TV’, sisanya terbagi tanpa selisih yang signifikan pada media majalah, surat kabar, radio, billboard, dan lain sebagainya.

Bahkan media televisi ‘menjadi ikon’ dan ‘melahirkan sebuah sugesti tersendiri’ yang kemudian menjadi ‘hipotesa’ bahkan mendekati ‘fakta’ bagi pemasar maupun konsumen. Bagi pemasar ‘iklan televisi itu berbanding lurus dengan brand awareness, artinya makin tinggi intensitas iklan sebuah produk tayang di televisi, makin tinggi juga awarenes-nya, demikian pun sebaliknya. Dan hampir tidak ada produk yang sukses di pasar dan memiliki brand awareness yang baik, tanpa ada iklan televisi. Awarenes itu semakin baik lagi jika di tayangkan pada saat ‘prime time’ karena peluang ditonton oleh pemirsa sangat besar, apalagi jika ‘iklan itu’ di kemas secara apik. Dengan demikian, indeks ‘cost awareness per konsumen’ menjadi lebih kecil. Jadi secara gamblang dapat dikatakan bahwa iklan televisi itu ‘efektif dan efisien’, efektif karena informasi tentang produk dapat tersampaikan dengan baik pada target market, dan efisien karena target market yang mendapatkan informasi produk itu lebih besar kuantitasnya.

7 LANGKAH PSIKOLOGIS PEMBELIAN

Dimata konsumen, ‘iklan televisi’ itu mempengaruhi decision dan attitude pembelian sebuah produk. Menurut Purnawarman (2005) Secara psikologis ada tujuh tahap yang dilewati pelanggan sebelum memutuskan membeli suatu produk.

* LANGKAH 1 : PERHATIKAN. Calon pelanggan memandang sekejap mata produk yang dipanjang di etalase atau ruang pamer.
* LANGKAH 2 : MINAT. Calon pelanggan menunjukan minat pada produk tertentu dipajang, mencari tahu rancangan, harga dan kualitasnya.
* LANGKAH 3 : ASOSIASI GAGASAN. Calon Pelanggan membayangkan dirinya menggunakan produk sesuai dengan iklannya
* LANGKAH 4 : KEINGINAN. Jika calon pelanggan ragu-ragu, maka ia akan membandingkan dengan produk lain yang sejenis dan kemudian akan mengevaluasinya terhadap rancangan, harga dan kualitasnya.
* LANGKAH 5 : KEPERCAYAAN. Keputusan calon pelanggan untuk membeli suatu produk didasarkan atas kepercayaan tumbuhnya rasa kepercayaan dipengaruhi oleh wiraniaga, reputasi industri, merek produk dan kualitas produk
* LANGKAH 6 : TINDAKAN. Calon pelanggan membeli produk
* LANGKAH 7 : KEPUASAN. Setelah membeli produk, pelanggan dapat mengalami 2 jenis kepuasan, yaitu kepuasan saat proses pembelian (pelayanan wiraniaga) dan kepuasan menggunakan produk (kualitas)

Sungguh sulit memang, memasarkan produk yang tidak mengiklankan produknya di televisi, walau secara distribusi sudah baik, karena pelanggan akan mengganggap produk itu sebagai ‘benda asing’ dan tidak mau mengambil resiko untuk ‘mencoba’ karena mereka sama sekali bersedia menanggung biaya untuk itu.

INDONESIA IDOL DALAM PERSPEKTIF RISET

Kembali ke Indonesia Idol, terlepas dari siapa yang menjadi ‘The Next Indonesia Idol’, Dirly atau Ikhsan! Tanggo dan Produk Tabungan Bank Panin, jelas mendapatkan begitu banyak ‘berkah’ pada malam itu, dan makin mengukuhkan diri sebagai brand dengan awareness tertinggi pada malam itu. Dapat dipastikan jika dilakukan riset pada sehari setelah ‘acara itu berlangsung’ Tanggo dan Bank Panin merupakan dua brand dengan ‘Top of Mind’ tertinggi untuk masing-masing kategori. Namun hingga seberapa lama? Apakah TOM saat itu bisa menjadi jaminan kedua brand itu menjadi sustainable brand bahkan menghasilkan sustainable sales? Belum tentu! Karena untuk menjadi sustainable sales apalagi winner the market, sebuah brand harus memiliki ekuitas merek yang baik untuk exist at sustainable competitive advantadge. Jika hal ini didukung oleh mix marketing strategy yang terukur, kinerja produk yang terpantau, dan didukung oleh sumber daya manusia yang baik. Maka jalan menuju sustainable brand makin terbuka lebar.

Lalu bagaimana dengan Kedua Finalis ‘Indonesia Idol’? Dirly dan Ihsan? Apakah ketika salah satunya menjadi ‘The Next Indonesia Idol’ otomatis memiliki ‘sustainable brand’, Apakah Ihsan sebagai ‘The Next Indonesia Idol’ benar-benar mengungguli Dirly? maka sama halnya dengan dua produk sponsor utama, jawabnya BELUM TENTU! Kenapa? Mungkin saja ‘Dirly’ adalah pemenang sesungguhnya. Penasaran? Mari kita telaaah lebih dalam dengan pendekatan Riset.

Sesungguhnya metoda yang digunakan untuk menentukan ‘The Next Indonesia Idol’ bukan hanya pada ‘grand final’ melainkan sejak awal babak workshop dimulai, sangat tidak dapat diterima, dan tidak dapat digeneralisir. Kesalahan utama terletak pada metoda penentuan pemenang yang ditentukan oleh akumulasi ‘Polling SMS’ dan ‘Telepon’ pemirsa TV. Namun tidak menjadi masalah jika pantia menggunakan ‘Metoda Polling SMS dan Polling Telpon’ yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga apapun hasilnya dapat mewakili populasi dan di generalisir.

Di Amerika Serikat, proses penentuan ‘The Next American Idol’ benar-benar menggunakan metoda yang sangat akurat. Polling yang dilakukan, baik melalui SMS ataupun Telepon dilakukan dengan tingkat keakurasian yang sangat tinggi, sehingga dapat dipastikan bahwa siapapun pememangnya, benar-benar menggambarkan representasi penduduk Amerika, dapat dipertanggungjawabkan dan tentu saja dapat digeneralisir. Setiap nomor telepon hanya dapat mengirimkan satu kali pilihan pada saat voting, dan sistem komputer akan menolak secara otomatis, jika nomor yang sama mencoba melakukan voting lebih dari satu kali, baik ketika voting dilakukan via SMS maupun telepon. Proses voting pun dibuka setelah semua pemirsa dipastikan telah melihat secara langsung ‘kebolehan’ semua kontestan/peserta, jadi percuma jika menngirimkan SMS Voting sebelum bener-benar diumumkan oleh pembawa acara, karena akan ditolak oleh sistem. Proses voting pun tidak berlangsung lama, hanya dalam hitungan menit, sebelum ditutup kembali. Jadi hasilnya benar-benar akurat, terlebih didukung oleh sifat independensi warga amerika dalam mengambil keputusan, dan mereka benar-benar memilih karena kualitas, bukan karena ikut-ikutan, bukan karena sang kontestan satu daerah, dan lain sebagainya. Namun yang terpenting, biaya telepon dan biaya pengiriman SMS pun diberlakukan tarif normal, sama seperti tarif menelepon dan mengirimkan SMS pada umumnya, sangat jauh dari kata bisnis! Jadi semangat yang diserukan oleh Benyamin Franklin, American for the American! Benar-benar terwujud pada setiap yang dilahirkan dan dihasilkan oleh Amerika! Termasuk ‘The Next American Idol’ dan nama ‘sang idola’ seketika menjadi sustainable of Brand

Beda halnya dengan ‘Sang Indonesian Idol’ yang menjadi mesin uang yang sangat potensial. Tarif SMS yang dikenakan bagi pemirsa yang melakukan voting sebesar IDR 2000/SMS belum termasuk PPN dan IDR 900/Call tidak termasuk PPN. Itupun bisa dilakukan berkali-kali tanpa batas kuota, berpuluh-puluh kali bahkan beribu-ribu kali pun tidak masalah, selama mereka mampu. Para kontestan pun seperti memiliki ‘tim sukses’ untuk mengirimkan SMS, dan yang tak kalah hebohnya, ‘kontestan’ pun memanfaatkan ‘emosi daerah’ untuk mengumpulkan point SMS.

Margin of error (MOE) dan derajat kesalahan (Alpha), sangat menentukan tingkat keakurasian sebuah hasil jajak pendapat, apakah dapat diterima dan digeneralisir atau tidak. Makin kecil prosentase MOE dan α maka makin tinggi akurasinya. Untuk ‘American Idol’ paling tidak (Maksimal) MOE = 1.7% dengan α = 2.5%, artinya Jika diuji kembali, baik dengan metoda yang sama/berbeda, dilakukan dengan lokasi yang sama/berbeda sebanyak 1000 kali pada waktu yang sama/berbeda, maka hasilnya akan sama. Kalaupun terjadi perbedaan hasil, maka tak akan lebih dari 2.5% dari hasil semula. Jadi ‘sang American Idol’ benar-benar akan menjadi ‘Idola amerika’ paling tidak selama 5 tahun. Dan apa yang terjadi pada 5 tahun kemudian, sangat bergantung pada ‘kinerja sang idol’ apakah mampu mempertahankan dirinya sebagai sustainable brand atau tidak. Namun paling tidak ‘sang idol’ bukanlah produk emosional dan ‘salah pilih’.

Lalu bagaimana dengan ‘Sang Indonesian Idol’? melihat kriteria, metoda dan proses yang dilakukan sejak workshop sampai penentuan ‘The Next Indonesian Idol’ maka sangat sulit menentukan besaran MOE dan α, karena ‘besarnya tingkat bias’. Kerumitan ini telah terjadi sejak awal proses berlangsung sehingga makin memperendah tingkat keakurasian yang sebenarnya ‘sudah rendah’. Namun jika diambil sebuah angka kompromi maka paling tidak (maksimal) α = 50% dengan MOE tak terhingga, artinya hasilnya benar-benar tidak dapat digeneralisir, dan hanya berlaku pada hari itu saja, paling tidak minggu itu saja. Jika ‘hasil’ itu diuji kembali dengan metoda, tempat, waktu yang berbeda, maka hasilnya pun akan berbeda pula.

THE END OF STORY…

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa ihsan ‘sang Indonesian Idol’ tidak dapat merepresentasikan pilihan rakyat Indonesia, namun yang mungkin ‘walau’ dengan MOE dan α nya tetap besar, Ihsan boleh dikatakan sebagai ‘North Sumatera Idol’, pun Dirly sebagai ‘North Celebes Idol’. Apa yang terjadi besok, sangat bergantung pada kinerja mereka pada setiap hari, dan mereka harus benar benar bekerja keras. Dan tak ada hal lain yang dapat mereka lakukan, kecuali re-segmentasi, re-targeting, re-positioning dan re-image untuk menjadi sustainable of brand.

Namun bagaimana pun kita harus mengakui, bahwa jalan yang harus ditempuh dan lalui untuk menuju ‘Indonesian Idol’ tidaklah mudah. Paling tidak ada usaha menuju kesana. Marilah kita sama-sama berdoa, semoga segala pengorbanan Ihsan dan Dirly, juga orang-orang yang selama ini mendukung dan menaruh harapan tidaklah sia-sia, dan apa yang mereka cita-citakan dan harapkan dari kompetisi ini terwujud. Paling tidak mereka berdua dapat menjadi manusia seperti yang mereka harapkan.

Untuk kedua pemenang.. Selamat datang di kehidupan yang sesungguhnya

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers