Thursday, March 24, 2011

Negara Saat Ini Hilang Akal

PAKET bom yang marak belakangan ini cenderung dikaitkan dengan isu teroris. Analisis saya memperlihatkan dari sisi waktu, itu selalu bergulir berdekatan dengan tekanan terhadap rezim berkuasa (Media Indonesia, 27/10/2010).

Analisis sebagian pakar juga menunjukkan adanya nilai jual yang lebih tinggi jika isu itu bergulir apabila dibandingkan dengan isu-isu lain di kancah nasional terlebih jika benar adanya asumsi pendiskreditan kelompok agama tertentu.

Jika itu benar, ditambah rezim berkuasa membiarkan, kesimpulannya adalah negara kehilangan akal. Jika itu dibiarkan terus terjadi, chaos yang berlebihan pun dapat muncul. Tentu kita semua tidak menginginkannya.

Spionase isu bom

Akal sehat gampang memahami isu paket bom pertama di bilangan Utan Kayu adalah senjata makan tuan. Pertanyaan kritis pertama adalah kenapa penerima paket tahu bahwa paket tersebut adalah bom? Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi.

Pertanyaan itu hanya bisa dijawab penerima paket atau pihak yang melaporkan paket tersebut. Jika tidak ada rekayasa, mustahil paket tersebut dipahami orang awam. Apakah penerima paket ahli bom, setahu saya tidak juga.

Rekayasa dapat terjadi dalam dua sebab. Pertama, sebab normatif adalah kita coba mengikuti jalan pikir penerima paket berbicara di berbagai media, yang menganggap telah lama dibenci kelompok garis keras agama tertentu. Justru harus dibalik, isu paket bom itu adalah mendiskreditkan kelompok garis keras tersebut karena isu paket bom itu seperti turun dari langit secara tiba-tiba. Perekayasa telah hilang akal untuk menumpas kelompok garis keras ini. Kemungkinan intensinya bisa saja karena opini dominan terhadap isu terakhir terkait dengan Ahmadiyah, atau kemerosotan nilai jual liberalisme yang mereka usung di mata bangsa Indonesia.

Kedua adalah sebab politis, yakni penerima bom atau pelapor merekayasa bekerja sama dengan oknum-oknum negara yang korup karena berbarengan isu pertama dengan maraknya tekanan politik terhadap negara. Kita tahu saat ini, negara menghadapi hal yang tidak populer di kancah politik. Rezim berkuasa kehilangan akal juga.

Oknum negara korup melakukan pengembangan isu. Tampaknya isu bom yang direkayasa sebagai 'dikirim kelompok garis keras agama tertentu' dinilai menjanjikan dapat menggeser daya ingat bangsa Indonesia dari ingatan terhadap isu lain, sebagaimana analisis para pakar bahwa bangsa kita memang mudah diombang-ambingkan isu-isu baru. Sayang, betapa mudahnya dianalisis secara akal sehat keteledoran penerima paket bom pertama melaporkan, padahal belum pernah ada bom semacam. Paket-paket lain dalam hal ini tampak digelontorkan oknum negara secara 'sepele'.

Kedua kemungkinan rekayasa tersebut, jika benar terjadi, sayangnya tidak memperhitungkan secara teknis bagaimana bom tersebut dijinakkan sehingga berakibat korban dari pihak Jihandak. Pers (media) sangat apik menyoroti dan tidak tertinggal berita detik demi detik mengikutinya. Kita bisa saksikan kenapa polisi menyiram air ke sekujur paket buku. Tampak seolah sedang melakukan uji coba karena sebelumnya tahu model paket bom tersebut.

Kita juga bisa memahami bahwa teknologi paket bom hanya dikuasai tentara (militer). Saya kira Jihandak mustahil tidak mengetahui teknologi tersebut. Namun sepandai-pandainya tupai melompat, akan pernah mengalami kegagalan juga. Korban penjinak bom pun jatuh. Masih beruntung korban tidak kehilangan nyawa. Intinya adalah negara hilang akal jika asumsi analisis tersebut benar terjadi.

Moralitas penuh

Kunci masalah strategis, sensitif, dan fundamental itu jelas melibatkan orang nomor satu di dalam pemerintahan. Presiden harus meminta para pembantunya bekerja secara giat kepada arah kepemerintahan yang diinginkannya. Jika tekanan politik yang dihadapi sangat besar sekalipun, ia meminta mereka agar tetap bekerja secara optimal untuk rakyat. Horizon pada hanya untuk kekuasaan semata, pragmatisme, dan jangka pendek harus segera diakhiri.

Moralitas datang dari diri Presiden dalam mengawal isu ini secara baik. Jika salah-salah, akan dikaitkan dengan berbagai tindak perilakunya dalam memimpin negara. Presiden tidak perlu meminta belas kasih dengan menggulirkan isu yang mengeruhkan suasana politik Indonesia. Pekerjaan teknis yang lebih bermanfaat masih banyak menghadang di depan.

Status quo sudah merupakan mindset lama yang harus ditinggalkan. Gaya kepemimpinan superleadership-transformatif harus dikembangkan Presiden. Superleadership bukan bertipikal nepotisme. Superleadership sistemis yang harus dibangun. Nilai transformatif juga demikian terkait dengan nilai kebangsaan dan kemajuan. Terobosan jangka panjang kelembagaan adalah kata kuncinya.

Perlu ditunjukkan bahwa presiden mendorong nilai kebangsaan dengan meninggalkan kepartaiannya ketika dia menjadi pemimpin negara. Presiden adalah milik bersama bangsa. Tampaknya nilai inilah yang cocok untuk bangsa Indonesia. Nilai-nilai politik liberal Amerika yang tidak cocok harus berani ditepis kita semua. Kuncinya didorong terlebih dahulu oleh presiden sendiri.

Begitu pun pemberantasan korupsi di tubuh negara adalah cara terbaik dalam mendorong nilai kebangsaan dengan syarat dirinya sendiri harus bersih. Mulai dari istana adalah cara terbaik. Isu paket bom dan tekanan politik lain semestinya tidak ada jika hal-hal tersebut dilakukan sejak lama.

Bangsa Indonesia kini menunggu gebrakan presiden kita di periode kedua sebagai periode penutupnya. Semestinya harus berbobot dari periode pertama, bukan sebaliknya, malah mengendur. Jika kita perhatikan, semangat pemberantasan korupsi dan semangat perbaikan kelembagaan seolah tertutupi oleh nafsu kekuasaan justru muncul di periode kedua ini. Dengan demikian, dagelan politiklah yang tersuguhkan ke masyarakat, sampai-sampai harus diselingi isu paket bom yang tampaknya cenderung merupakan senjata makan tuan. Semoga asumsi ini tidak benar.

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers