Wednesday, March 2, 2011

Mencari Akar Krisis Finansial

Ketika Lehman bangkrut, diikuti tumbangnya raksasa institusi keuangan di AS dan menyeret pula raksasa-raksasa lain di negeri-negeri kapitalis utama, dan akhirnya juga industri manufaktur di berbagai belahan dunia, banyak pihak mencoba menemukan sebab dari bencana ini.

Para pemimpin ekonomi dunia, CEO raksasa-raksasa bisnis, profesor-profesor ilmu ekonomi, dan lembaga-lembaga riset mengutip dan mengajukan berbagai teori. Banyak yang mempersalahkan ketamakan dan keburukan kinerja para CEO bisnis besar, terutama yang bergerak di bidang keuangan, longgarnya kontrol dan regulasi otoritas keuangan atas transaksi di pasar finansial, kecurangan dan praktik menerima sogok pada kantor-kantor auditor, akuntan dan para analis pasar, dan berbagai alasan lain.

Berbagai varian teori ekonom kapitalis laku dilihat kembali sebagai bahan acuan mengevaluasi perekenomian dan membuat kebijakan pemulihan. Mulai dari teori Underconsumtion yang melihat ketidakseimbangan antara kenaikan permintaan barang konsumsi dan kenaikan kapasitas produksi sebagai cikal bakal krisis, hingga teori overinvestment yang menempatkan cikal bakal krisis pada keterbatasan kemampuan institusi keuangan menyediakan kredit akibat tingginya gairah investasi yang timpang terhadap laju dan volume pembentukan modal pada saat gelombang pasang perekonomian.

Dengan berbagai teori dan pendekatan, beragam langkah penyelamatan ditempuh pemeritah di seluruh negara. Sebagian besar –mentaati nasihat para Keynesian—mendorong pertumbuhan investasi melalui pemangkasan tajam suku bunga, peningkatan belanja negara pada berbagai proyek pada karya, hingga pengambialihan berbagai institusi keuangan dan manufaktur yang bangkrut. Tidak kurang yang menyerukan perombakan sistem keuangan dunia.

Beralasan jika banyak pihak mempersalahkan liberalisasi tak terkendali dari pasar finansial sebagai sebab utama dari krisis-krisis modern yang terjadi. Termasuk wujud dari mahaliberalnya kapitalisme finansial berupa menjamurnya transaksi derivatif yang spekulatif. Transaksi devisa di perekonomian global meningkat dari 15 milyar dollar AS per hari pada 1973 menjadi 80 milyar pada 1980 dan 1,26 trilyun dollar di 1995. Pada 1973 perdangangan barang dan jasa dunia mengambil porsi 15 persen dari total 80 miliar transaksi mata uang asing. Pada 1995 hanya tinggal 2 persen. Jadi ledakan pertukaran devisa ini dihasilkan oleh aktivitas finansial, bukan perdangangan. Pertumbuhan derivatif sedemikian spektakuler. Menurut Bank of International Settlement, the notional amount –nilai underlying asset yang mendasari derivatif itu—untuk OTC contracts sebesar 683,7 triliun pada akhir Juni 2008. Jumlah ini 10 kali lipat total kekayaan dunia. Tigapuluh lima tahun lampau, pada 1973, derivasi finansial hampir-hampir tak dikenal. Nilai turnover harian di pasar mata uang global telah meningkat 50 kali sejak 1980, dan sekarang berkisar pada 1,9 triliun dollar per hari. Duapertiga dari jumlah ini ditransaksikan pada pasar derivatif, dan ¾ dari jumlah perdagangan derivatif tersebut (atau setengah dari total nilai pasar) adalah foreing exchange swaps)—derivasi matauang asing

Tetapi pandangan demikian tak menjelaskan fundamental dan akar sejarah dari perkembangan kapitalisme finansial. Seolah-olah kapitalisme finansial yang liberal itu muncul tiba-tiba dan menimbulkan kekacauan, seperti cerita silat dalam sinetron Indonesia. Itu sama seperti ketika melihat seseorang menangis, kita bertanya dan mendapat jawaban ia menangis karena sedih. Tentu bukan itu jawaban yang kita butuhkan. Kita perlu mengetahui apa latar belakang peristiwa, --yang menjadi pokok masalah— sehingga seseorang bersedih. Karena hanya dengan mengetahui itu, kita dapat mengambil sikap dan tindakan yang tepat.

Karena itu, tulisan singkat ini mencoba mencari penjelasan bagi keingintahuan kita. Atau setidaknya mengail alternatif penjelasan yang memancing diskusi lanjut jika berbagaimacam ulasan yang kita baca sebelumnya tidak memuaskan.

Untuk memahami bagaimana krisis itu berlangsung perlu dipahami dasar ekonomi politik kapitalisme itu.

Ada dua kontradiksi dasar yang inheren dalam kapitalisme sebagai sistem yang harus terus berkembangan semakin besar, sekaligus semakin tua. Kontradiksi yang pertama adalah perkembangan global dari kekuatan produktif di bawah kapitalisme, dan sistem nation-state dimana kekuatan politik dari borjuasi diletakan. Adalah sebuah keharusan bagi kapital untuk terus berkembang membesar. Dan karena itu ia harus berekspansi menembus batas-batas negara, melalui penyebaran investasi –meski sekaligus sentralisasi akumulasi—dan perdagangan. Di sisi lain, lintas batas masing-masing negara dipagari oleh kepentingan masing-masing klas kapitalis yang menguasainya.

Kontradiksi yang kedua adalah antara pertumbuhan kekuatan produktif di satu sisi, berhadapan dengan relasi sosial dari produksi kapitalis yang berdasar pada kepemilikan pribadi atas alat produksi dan eksploitasi terhadap kelas pekerja melalui sistem upah, di sisi lainnya.

Kapital hanya mungkin diakumulasi dari penghisapan nilai lebih yang dihasilkan pekerja berupah. Ketika seorang pemodal berinvestasi senilai M0 untuk membeli tenaga kerja (upah), alat produksi dan bahan, melalui proses produksi, pekerja memberikan tambahan nilai pada komoditi, yang ketika dipasarkan nilainya menjadi M1. Dengan demikian pekerja memberi nilai tambah pada komoditas senilai selisih M1 terhadap M0 (delta M), tetapi upah yang dibayarkan kepada pekerja jauh dibawah delta M. Perbedaan ini adalah sumber “nilai lebih” atau surplus value.

Kontradiksinya terletak pada kepentingan kapital untuk terus membesar tanpa batas berhadapan dengan batasan-batasan dalam penghisapan nilai lebih terhadap kelas pekerja. Dan batasan-batasan tersebut berkembang seiring perkembangan kekuatan produktif, sehingga seringkali laju akumulasi, atau yang sering disebut rate of profit, berfluktuasi. Kondisi dimana rate of profit menurun inilah sejatinya dikenal krisis ekonomi.

Untuk mencegah penurunan rate of profit, kapitalisme berdialektika menemukan bentuk-bentuk baru, termasuk menyandarkan penghisapan nilai lebih pada finansialisasi ekonomi, seperti yang berkembang dalam tiga dekade terakhir, dan menyebabkan krisis finansial menjadi tema sentral persoalan ekonomi.

Untuk lebih jelas melihat bagaimana kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam kapitalisme itu berperan utama menciptakan berbagai macam krisis, termasuk krisis yang kini berlangsung, baiklah akar krisis ini ditinjau dalam perjalanan sejarah perkembangan ekonomi. Hal ini karena krisis yang terjadi sekarang tidak serta-merta terjadi begitu saja, tetapi berakar sebab pada perkembangan kapitalisme dari masa sebelumnya.

Nick Beams (The World Economic Crisis: A Marxist Analysis, www.wsws.org) menempatkan dekade 1970an, akhir dari postwar booming dan berbagai dialektika mengatasinya sebagai akar dari krisis yang kini terjadi. Masa itu ditandai oleh kejatuhan tajam rate of profit di setiap negara kapitalis utama, berakibat pada resesi 1974 yang diikuti oleh stagflation pada akhir dekade. Era 1970an juga ditandai oleh runtuhnya sistem Bretton Woods, yang sejak 1944 menjadi rejim yang mengatur perdagangan internasional. Persetujuan Bretton Woods adalah salah satu pilar rejim ekonomi pascaperang. Dalam sistem Bretton Woods, nilai tukar mata uang negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasional dipatok tetap terhadap nilai dollar AS. Nilai dollar AS sendiri dikaitkan dengan cadangan emas, setara 35 dollar AS per ons.

Kecenderungan menempatkan 1970an atau periode runtuhnya sistem Breton Woods juga dilakukan oleh Suzane de Brunhoff, honorary research director pada Centre National de la Recherche Scientifique, Prancis, ketika menjelaskan akar historis dari krisis krisis-krisis pasca 1980-an, terutama 1997. Brunhoff menyebut era ini sebagai “the end of exchange controls”. Demikian pula yang disimpulkan David Harvey, seperti dalam pendahuluan bukunya, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (Resist Book, Januari 2009).

Kejatuhan sistem Bretton Woods menjelaskan peran kontradiksi yang pertama yaitu antara ekspansi ekonomi global dan sistem mata uang yang masih melekat pada nation-state. Superioritas perekonomian AS hanya berhasil menopang sistem ini –melawan kontradiksinya sendiri— hingga akhir 1960an.

Sistem ini mulai goncang karena kemudian mengganggu kepentingan kapitalisme AS, meski awalnya didirikan untuk untuk menjamin kepentingan dagang AS itu sendiri. Serangan datang dalam bentuk kelimpahan (overhang) dollar AS di pasar internasional, yang telah melampaui ketersediaan emas di Fort Knox. Padahal ketersediaan emas inilah yang menopang nilai dollar AS. Jumlah dollar yang beredar di luar AS meningkat dari 5 miliar dollar AS pada 1951, menjadi 38,5 miliar pada 1968. Sementara cadangan emas AS yang hanya senilai 23 miliar dollar.

Rejim Bretton Woods gagal karena perkembangan luar biasa dari perdagangan dunia dan investasi global yang dihasilkannya tidak dapat diwadahi oleh sistem regulasi nasional. Setelah berbagai upaya mempertahanankan agar sistem ini tetap menguntungkan AS kandas, pada Agustus 1971, Nixon akhirnya mengkhianati Bretton Woods Agreement. Pada 1973, rejim nilai tukar mengambang (free floating system) dimulai.

Tumbangnya rejim nilai tukar tetap membangkitkan ketidakpastian dalam perdagangan internasional. Ketidakpastian ini berupa risiko terjadinya kerugian akibat perubahan nilai tukar antar mata uang yang terlibat dalam perdagangan. Bagaimana jika seorang importir dari negara A menyetujui kontrak pembelian dengan eksportir dari negara B (dalam mata uang B) saat nilai mata uang A adalah 1,5B. Lalu ketika perjanjian jual-beli itu jatuh tempo (A harus melunasi pembeliannya), nilai mata uang A jatuh menjadi 2B? Jika nilai pembelian itu 100 B setara dengan 150 A ketika kontrak ditandatangi, maka saat masa jatuh tempo nilai pembelian naik menjadi 200 A. Tentu si importir merugi 50 A akibat fluktuasi nilai matauang tersebut.

Untuk menghindari ketidakpastian tersebut, kebutuhan akan manajemen risiko meningkat. Hal ini mendorong pertumbuhan financial derivative. Derivatif finansial adalah instrumen finansial yang nilainya diturunkan dari nilai hal lain. Derivatif telah ada sejak lama. Tetapi dulu ia sebatas kontrak perdagangan berjangka (future contract) di pasar pertanian. Saat itu future contract merupakan instrumen manajemen risiko dari dampak pergerakan harga pada saat tanaman dipanen dan ketika diperdagangkan di pasar.

Dalam perkembangannya, peningkatan pesat permintaan derivatif sebagai manajemen risiko akibat peralihan sistem nilai tukar tetap ke free floating system telah memunculkan sejumlah bentuk perdagangan derivatif. Darivatif finansial menandai sebuah perkembangan baru. Kontrak tidak lagi terkait dengan fisik komoditas, tetapi dengan uang dan aset finansial lain. Pada 1972, pasar matauang berjangka diperkenalkan di Chicago Mercantile Exchange. Pasar ini memungkinkan eksportir dan importir, sebagaimana lembaga keuangan, untuk melindungi diri dari fluktuasi nilai mata uang, di bawah kondisi dimana pergerakan matauang dapat secara efektif menyapu bersih keuntungan dari perjanjian bisnis malam ini.

The Currency futures contract hanyalah salah satu dari begitu banyak derivatif finansial yang berkembang di periode kemudian. Secara alamiah, oleh perkembangannya yang pesat, perdagangan derivatif menemukan maknanya yang baru. Ia tidak lagi sekedar instrumen manajemen risiko, tetapi juga berkembang menjadi instrumen investasi dan spekulasi.

Pada 1973, sebuah perkembangan utama terjadi, ketika dua akademisi, Fischer Black dan Myron Scholes, mengembangkan formula “pricing options”. Option adalah sejenis asuransi. Sebagai imbalan membayar premi, pembeli opsi mendapat hak untuk membeli atau menjual sebuah aset pada harga tertentu selama periode tertentu. Jika harga tidak berubah, option tidak lagi ada nilainya dan si pembeli hanya kehilangan premi. Opsi menawarkan keuntungan yang besar, tetapi juga risiko yang besar. Ia benar-benar sebuah spekulasi.

Peningkatan perdagangan opsi diikuti kemunculan berbagai bentuk derivatif lain, seperti currency swap (pembeli dapat menukar saham yang diterbitkan dalam suatu mata uang dengan saham lain yang diterbitkan dalam mata uang lain), interest rate swap (pembayaran tingkat bunga tetap --fixed interest rate payments-- dapat tukar dengan variable rate payments, begitu juga sebaliknya), the credit default swap (pemegang kredit dapat menjamin si penerbit utang sebuah surat utang yang gagal bayar).

Kita telah membuktikan bagaimana kontradiksi yang pertama telah menjadi landasan bagi munculnya berbagai macam produk derivatif di pasar finansial yang oleh banyak pihak dituding sebagai biang keladi krisis akhir-akhir ini. Bagaimana dengan kontradiksi kedua?

Kontradiksi yang kedua mungkin memiliki peran lebih besar dalam membentuk kapitalisme finansial yang sekarang menghegemoni dan diributkan banyak orang. Didorong oleh upaya mempertahankan rate of profit –-yang selalu menurun akibat kontradiksi antara penghisapan nilai lebih sebagai dasar akumulasi kapital di satu sisi dan perkembangan kekuatan produktif di sisi lain– berbagai langkah coba dibuat oleh klas kapitalis dan pemerintahan yang mengabdinya.

Nixon menggantikan standar emas pada dollar AS untuk menjaga dominasi finansial kapitalisme AS. Tetapi ternyata yang dicapai adalah kejatuhan tajam nilai dollar, keuntungan menurun, pasar saham runtuh, dan ekonomi AS terperangkap stagflasi. Untuk mengatasi itu, Paul Volcker, pada Oktober 1979, diangkat sebagai gubernur the Fed. Di bawah panji-panji anti-inflasi, Volcker menaikkan tingkat suku bunga hingga mencapai rekor baru. Sebagaimana dicatat Joseph Stiglitz, dalam Dekade Keserakahan-nya, tingkat bunga obligasi korporasi untuk pinjaman jangka panjang mencapai 15 persen. Hasilnya memang Volcker sukses besar menurunkan laju inflasi dari 13,5 persen pada 1980 menjadi tinggal 3,2 persen pada 1983.

Tetapi dampak dari kebijakan itu jauh lebih buruk. Perbankan, terutama yang melayani kredit pemilikan rumah (KPR) bangkrut karena harus membayar bunga yang lebih tinggi kepada para deposan sementara bunga yang diperoleh dari penyaluran KPR tidak berubah. Sektor industri lainnya kolaps akibat tingginya bunga kredit, demikian juga investasi mandeg.

Mencoba mengatasi bencana tersebut, pemerintahan Reagan, justru menanam bom waktu bagi kebangkrutan yang lebih dalam, seperti yang dialami saat ini. Perbankan diberikan kesempatan untuk melakukan mark-up perkiraan laba di masa yang akan datang. Tetapi hal ini tidak segera menyelesaikan masalah, karena berbeda dengan manipulasi di atas kertas, dalam kenyataannya perbankan masih tetap membayar bunga yang lebih tinggi kepada penabung dibandingkan bunga yang diterima dari kredit yang diberikan.

Maka langkah lanjut, sebuah deregulasi buruk dibuat, perbankan diberikan kebebasan berinvestasi pada pasar surat berharga yang spekulatif. Seperti opsi dan berbagai derivatif yang dijelaskan sebelumnya, instrumen-instrumen finansial ini menjanjikan keuntungan sangat besar, tetapi juga dengan risiko yang sepadan.

Dengan tindakan itu, perbankan seharusnya menyisihkan cadangan yang setara dengan risiko yang dihadapi dari investasi spekulatif tersebut. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena karena menghalangi jalan pintas penyelamatan perbankan.

Dalam kondisi tersebut, didorong pula oleh kebijakan pemotongan pajak bagi industri real-estate, perbankan AS segera masuk dalam euforia kredit real-estate. Meskipun telah jenuh, laporan-laporan dan prediksi-prediksi pertumbuhan dan laba sektor perumahan dimanipulasi dengan sangat indah, menutupi kenyataan bahwa tingkat hunian real estate pada pertengahan 1980an hanya tinggal 70 persen.

Di tengah-tengah demam investasi finansial tersebut, oleh desakan defisit dan kecaman berbagai pihak, pemerintah Reagan mereformasi kembali kebijakan pajaknya. Keringanan pajak dicabut, gelembung real estate pun meletus karena tak mampu memanipulasi overproduksi dan keterbatasan daya serap pasar yang diselama ini disembunyikan oleh insentif pajak. Maka harga jatuh, hipotik tak terbayar, para peminjam bangkrut. Pemerintah AS harus mengeluarkan lebih dari 100 triliun dollar AS dana bailout bank-bank yang bangkrut.

Perekonomian AS yang sejak akhir perang sipil 1865 superior dengan industri manufaktur yang paling efisien dan menguntungkan di seluruh dunia kehilangan kepercayaan dirinya. Maka ketika Stiglitz melihat peristiwa 1980an ini sebagai landasan bagi resesi dua tahun selanjutnya, Nick Beams lebih jauh lagi menempatkan masa ini sebagai salah satu tonggak beralihnya corak akumulasi kapitalisme, dari penghisapan nilai lebih terhadap buruh di sektor manufaktur, menuju masa kejayaan kapitalisme finansial.

Tetapi cerita belum berakhir. Kredit murah adalah syarat bagi pertumbuhan ekonomi kapitalis, sekaligus bagi perkembangan pesat kapitalisme finansial. Tetapi kredit murah akan berdampak pada inflasi tinggi. Maka dibutuhkan suatu kondisi yang memungkinkan politik kredit murah bisa diterapkan tanpa harus disertai inflasi tinggi.

Terbukanya China bagi kapitalisme menyediakan kebutuhan di atas. Gaige Kaifang –reformasi dan membuka diri – dalam perekonomian China, yang dirintis sejak 1978, mencapai puncaknya pada 1990an. Dijabarkan I Wibobo (Belajar dari China, 2007), pada 1990, China telah berkembang menjadi penghasil TV terbesar di dunia, dan menjadi penghasil semen terbesar dunia pada 1995. Pada 1998, China adalah penghasil terbesar pupuk dan baja. Masuk tahun 2000, ekspor barang-barang elektronik China meningkat, dari 15 miliar dollar AS pada 1980 menjadi 40 miliar dollar AS. Dari total ekspor China, hanya 10 persen yang berupa hasil pertanian. Selebihnya merupakan produk manufaktur.

Menurut Beams, dengan tingkat upah sepertigapuluh dari upah buruh AS, liberalisasi di China menyediakan basis bagi ekspansi besar-besaran penghisapan nilai lebih oleh modal internasional. Upah murah, yang membanjiri pasar-pasar negara kapitalis utama dengan barang-barang murah, telah membantu perekonomian dan pasar finansial negara-negara tersebut untuk bertumbuh pesat oleh kredit murah tanpa hambatan kenaikan inflasi.

Maka oleh politik kredit murah terjadilah berbagai penggelembungan aset –gelembung pasar saham, gelembung industri dot.com, dan gelembung sektor perumahan—yang membiayai utang, sambil membantu menjaga tingkat konsumsi AS tanpa peningkatan upah real. Pada saat yang sama, otoritas China menginvestasikan surplus dagang mereka pada aset finansial AS, dalam rangka menjaga nilai Yuan terhadap dollar (tetap lebih rendah) dan memastikan terpeliharanya pasar ekspor. Ini juga membantu mempertahankan suku bunga rendah di AS dan melanggengkan pasokan kredit murah, yang, sebaliknya, menjamin gelembung asset.

Demikianlah, perjalanan panjang perkembangan kapitalisme AS dan dunia mengantarkannya pada sebuah proses finansialisasi ekonomi. Pada 1982, profit perusahaan keuangan senilai 5 persen dari total keuntungan perusahaan setelah pajak. Pada 2007, porsi mereka meningkat menjadi 41 persen. Transformasi ini –finansialisasi perekonomian AS—berdampak cepat pada proses akumulasi kapital dan pertumbuhan hutang dalam perekonomian AS. Dalam periode sebelumnya, hutang dibutuhkan oleh industri untuk membiayai ekspansi. Tetapi dengan pertumbuhan sektor keuangan, hutang telah meningkat digunakan oleh sektor keuangan untuk aktivitas finansial.

Jual-beli surat berharga didasarkan pada aset telah menjadi jalan baru mengakumulasi keuangan. Pada 1995 nilai dollar pada aset yang menopang surat berharga berkisar 108 miliar. Tetapi pada tahun 2000, pada puncak gelembung pasar saham, telah naik menjadi 1,07 triliun. Meningkat jadi 1,1 triliun pada 2005 dan 1,23 triliun pada 2006. Dengan kata lain, dalam satu dekade, nilai surat berharaga meningkat sepuluh kali.
***

Tentang bagaimana teknisnya liberalisasi finansial, meraksasanya berbagai institusi keuangan, dan menjamurnya berbagai produk dan praktik spekulasi finansial dalam memprovokasi krisis-krisis ekonomi dalam 3 dekade terakhir, telah banyak diulas dalam berbagai tulisan. Demikian juga tentang bagaimana krisis kredit perumahan AS bertangungjawab atas terjungkalnya sejumlah raksasa keuangan AS, dan rembetannya seperti kejatuhan saham dan kolapsnya manufaktur di berbagai penjuru dunia yang kini kita hadapi.

Tulisan ini hanya bermaksud membuktikan bahwa karena finansialisasi ekonomi adalah bentuk dialektika kapitalisme dalam mensiasati kebangkrutan akibat kontradiksi mendasar dalam diri kapitalisme sendiri, dan karena sebagai bentuk dialektisnya, kapitalisme finansial tidak akan pernah mampu mengubah karakter dasarnya sebagai kapitalisme itu sendiri, maka krisis pun tetap tak akan bisa terhindarkan.

Krisis itu akan terus terjadi, tidak bergerak sebagai sebuah lingkaran, tetapi sebagai spiral booming-resesi, dengan puncak booming yang semakin rendah, dan dasar lembah kejatuhan yang semakin dalam. Kehancuran kapitalisme adalah keniscayaan. Tetapi sebuah sistem ekonomi baru, yang lebih stabil, sekaligus lebih menjamin terciptanya distribusi kesejahteraan secara adil, tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan.

Efek derivatif adalah produk turunan dari efek pokok, bisa berupa efek saham ataupun efek utang, dan biasa disebut aset dasar (underlying asset).

Transaksinya merupakan kontrak atau perjanjian yang nilai atau peluang keuntungannya terkait dengan kinerja underlying asset.

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers