Tuesday, February 8, 2011

IRASIONALITAS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

He who has a choice has trouble!

Begitulah pepatah yang perlu dihayati para pengambil keputusan.

Mengambil keputusan, baik dalam level individu maupun bisnis, dapat menjadi sulit ketika melibatkan sekumpulan pilihan atau alternatif keputusan. Dan tambah sulit ketika pengambil keputusan juga harus menggunakan sekumpulan kriteria untuk memilih alternatif terbaik.

Problem multi criteria decision making (MCDM) ini sesungguhnya banyak ditemukan dalam praktik bisnis, misalnya menentukan produk yang paling tepat dikembangkan dan siapa pemasok konsep strategis yang dapat diandalkan. Dalam problem MCDM, pengambil keputusan memilih alternatif terbaik dari sekumpulan alternatif yang ada berdasarkan sekumpulan kriteria yang sudah ditetapkan.

Contohnya, dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun lalu atau pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai tahun ini, pemilih bisa menerapkan weighted sum method dengan mengevaluasi setiap kandidat berdasarkan kriteria tertentu dan mengalikan hasil evaluasi tersebut dengan bobot (weight) dari kriteria tersebut untuk mendapatkan weighted score. Total skor setiap kandidat diperoleh dengan menjumlahkan weighted score setiap kriteria. Kandidat dengan skor tertinggi dianggap paling pantas menjadi presiden atau kepala daerah. Metode di atas adalah cara paling simpel menyelesaikan problem MCDM.

Tentu saja, penulis tidak akan membahas detail teknik menyelesaikan problem MCDM. Perilaku rasional. Yang justru menarik dibahas adalah haruskah setiap pemilih menjadi rasional terlebih dahulu untuk dapat memilih alternatif paling tepat? Bicara mengenai rasionalitas dalam menentukan pilihan, utility theory-nya John Von-Neumann dan Oskar Morgenstern (Theory of Games and Economic Behavior, 1944) masih menjadi pegangan bagi akademisi dan praktisi bidang pengambilan keputusan. Menurut teori itu, seseorang dikatakan rasional bila bersandar pada axioms of rational choice dalam menentukan pilihan.

Ada beberapa aksioma yang harus dipegang pengambil keputusan yang rasional. Dua di antaranya yang perlu diketahui: (1) Transitivity; bila pengambil keputusan lebih memilih alternatif A dibanding alternatif B, dan lebih menyukai B ketimbang C, A yang dipilih ketimbang C; (2) Monotonicity; bila ada dua alternatif, yaitu A dan B yang masing-masing memiliki kualitas Q1 dan Q2, yang di mata pengambil keputusan ternyata kualitas Q1 lebih penting dibanding Q2, A akan dipilih apabila memiliki probabilitas lebih besar dari B untuk merealisasi kualitas Q1 yang dimilikinya. Aksioma rasionalitas ini tidak mengizinkan terjadinya intransitivity, yaitu pelanggaran atas aksioma transitivity, yang akan menyebabkan rank reversal (perubahan urutan prioritas apabila terjadi penambahan atau pengurangan alternatif). Misalnya, dalam kasus pilpres ataupun pilkada.

Perubahan ranking yang menjadi perhatian adalah bila ada kandidat yang sebelumnya di posisi teratas, setelah ada penambahan atau pengurangan kandidat, posisinya menjadi lebih rendah. Atau sebaliknya, yang sebelumnya berada di posisi lebih rendah menjadi di posisi teratas. Contohnya, ada tiga kandidat (A, B dan C) dengan A adalah kandidat terfavorit, diikuti B dan C. Jika terjadi suatu hal sehingga B harus mengundurkan diri dari kompetisi, ternyata kandidat C mengungguli A. Padahal, menurut teori utilitas, pemilih akan tetap memilih kandidat A sebagai presiden ketimbang C. Mengapa demikian?

Terjadinya intransitivity. Dalam kehidupan nyata, transitivity memang tidak selamanya terjadi. Dunia olah raga memberi beberapa kasus yang memperlihatkan justru intransitivity-lah yang terjadi. Lihat persaingan petenis dunia! Roger Federer memiliki prior probabilities besar untuk mengalahkan semua petenis. Sementara itu, Marat Safin atau Rafael Nadal kerap tumbang ketika menghadapi petenis non-unggulan. Apa yang terjadi ketika Federer bertemu Safin atau Nadal? Ternyata rekor kemenangan Federer tidak terlalu fantastis.

Untuk kasus pilpres, apa yang terjadi dalam beberapa kali pilpres di Amerika Serikat misalnya, menjelaskan bahwa intransitivity juga terjadi. Ketika kandidat independen masuk bursa persaingan yang di dalamnya sudah ada kandidat partai Republik dan Demokrat, kehadirannya mengubah ranking. Mengapa? Karena kandidat independen secara tradisional lebih menarik perhatian pemilih dari partai Republik ketimbang Demokrat. Lalu, apa yang membuat orang menjadi tidak profesional ketika menghadapi problem MCDM? Tidak ada jawaban yang benar. Saat harus membuat keputusan yang bersifat individu, pengambil keputusan akan menggunakan subjective judgment-nya. Seseorang bisa saja mengatakan A memiliki kualitas jauh lebih baik dibanding B untuk kriteria tertentu, tapi pengambil keputusan yang lain mungkin mengatakan sebaliknya. Siapa yang benar dan yang salah?

Tidak ada jawaban yang benar dan salah ketika penilaian subjektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ketika Anda tak setuju dengan kolega tentang besarnya probabilitas tim sepak bola favorit Anda memenangi pertandingan, Anda mungkin mencoba meyakinkannya dengan sejumlah pertimbangan seperti “bermain di kandang sendiri” atau :”banyak pemain inti tim lawan yang cedera”, dengan harapan pendapat Anda disetujui. Apa yang terjadi? Anda berdua tetap saja berbeda pendapat.

Jadi, bagaimana memilih keputusan yang paling tepat? Pertama, tentukan dulu apa value ataupun objective Anda dalam menghadapai persoalan pengambilan keputusan. Value adalah sesuatu yang bernilai, sedangkan objective adalah sesuatu yang ingin dicapai. Berikutnya, cari peluang mengembangkan beberapa alternatif keputusan dan pilihlah kriteria kritis yang dapat dipakai untuk menilai kandidat alternatif. Setelah itu, berpikirlah dengan jernih untuk menghasilkan keputusan terbaik. Apakah keputusan yang baik, yang dihasilkan dari proses pengambilan keputusan yang baik, akan membuahkan hasil yang baik pula?

Just keep your fingers crossed!

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers