Tuesday, January 11, 2011

Masa Depan Energi Untuk Rakyat

Mengacu pada milestone Profec yang tiap selasa menjadiwalkan diskusi profesional, maka kali ini kita akan mendiskusikan tentang masa depan energi untuk rakyat. Kita akan berbicara tentang data, fakta dan apa yang kita pikirkan untuk keluar dari dilema ini.

Indonesia pada dasarnya merupakan negeri yang kaya, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Fakta ini merupakan fakta yang tak terbantahkan dan fakta ini makin dikuatkan oleh berbagai studi negara-negara asing. Tentang kekayaan alam, coba kita lihat satu demi satu fakta yang terpampang jelas dan fakta lain yang mengikuti fakta tersebut. Untuk kali ini kita akan membahas tentang masa depan energi kita, dan secara khusus saya memberi judul disksi ini ‘Masa Depan Energi Untuk Rakyat’

Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak yang cukup potensial di dunia, bahkan hasil pencitraan satelit terbaru menemukan cadangan minyak miliaran juta barel di Natuna, laut Sulawesi dan Celah Timor. Namun apa faktanya? Pertamina sebagai BUMN hanya menguasai 12 persen market share produksi minyak nasional dan selebihnya dikuasai oleh perusahaan asing, dan hebatnya perusahaan asing tersebut memproduksi untuk negaranya dan bukan untuk konsumsi dalam negeri. Ini kemudian menjadi fakta yang menjawab pertanyaan yang selama ini muncul mengapa sebagai penghasil minyak, harga minyak lokal justru mengacu pada harga minyak dunia? Bukankah naiknya harga minyak dunia justru menguntungkan kita sebagai bangsa?.

Berpuluh tahun kita membiayai belanja negara dari minyak dan bahkan kita menjadi salah satu negara penghasil minyak yang sangat disegani. Namun tiga tahun lalu Indonesia resmi keluar dari keanggotaan OPEC dan malah menjadi negara pengimpor minyak karena ketidakmampuan pertamina memenuhi konsumsi minyak dalam negeri. Lalu, apakah ini salah pertamina atau salah pemerintah? Andai saja nasionalisasi minyak nasional dilakukan pemerintah seperti dilakukan di Venezuela maka sudah tentu rakyat tidak akan pernah mengalami kenaikan harga minyak. Justru negara kita akan menjadi sangat kaya karena kenaikan harga minyak dunia justru akan signifikan meningkatkan pendapatan negara. Tidak percaya? Coba kita hitung bersama.

Berdasarkan data dari sebuah sumber yang dapat dipercaya Indonesia saat ini mampu memproduksi 1 juta barel per hari dan pertamina hanya menguasai 12-13 persen. Andai saja nasionalisasi dilakukan dan mengacu pada harga minyak dunia saat ini USD 92/barel. Jika seluruhnya diproduksi oleh negara maka pendapatan negara per hari dari minyak USD 92.000.000,- dan jika dikalikan dengan kurs IDR 9.000/ US maka pendapatan negara per hari dari minyak mentah IDR 828.000.000.000,- dan jika dikalikan satu tahun (365 hari) maka pendapatan pemerintah dari penjualan minyak mentah IDR 302.202.000.000.000,- (Tiga ratus dua triliun dua ratus dua miliar rupiah). Itu kalau kita menggunakan asumsi yang dijual minyak mentah. Lalu bagaimana jika pemerintah memberlakukan aturan bahwa tidak boleh menjual minyak mentah namun olahan? Maka value yang didapat bisa 150%-200% dari pendapatan yang ada. Dapat anda bayangkan jika nasionalisasi dilakukan pada sektor bahan bakar minyak? Belum lagi nasionalisasi sektor gas, tambang (freeport dan lainnya), perbankan dan jika ditambah dengan penerimaan dengara dari sektor pajak, maka masalah pembayaran hutang yang nilainya saat ini IDR 1.300 Triliun hanya butuh waktu 2-3 tahun untuk melunasinya, dan kita akan menjadi negara tanpa hutang.

Apa yang salah dengan negara kita? Rakyat seakan dikorbankan, menanggung kesalahan manajemen pemerintah, bahkan sepanjang pemerintah saat ini berkuasa yang terjadi pembahasan ditingkat eksekutif dan legisltif adalah bagaimana menaikan harga-harga dan hebatnya kenaikan itu dilakukan melalui Perpu yang disahkan oleh DPR. Coba kita simak kenaikan harga yang pernah ada hingga saat ini mulai dari tarif dasar listrik, tarif telepon, transportasi, tarif tol, pajak, harga-harga sembako, harga atas layanan publik, bahkan saat ini kita dihadapi pada wacana penghapusan subsidi untuk BBM bahkan LPG 3 Kilo yang tadinya merupakan program yang dikreasikan untuk rakyat pun tak luput dari pencabutan subsidi dengan alasan telah terjadi kejahatan atas produk tersebut. Mengacu pada fakta tersebut, apakah anda masih percaya petumbuhan ekonomi yang diklaim pemerintah tahun 2010 sebesar 6 persen? Lalu apa efeknya ‘kebanggan pemerintah’ telah menaikan gaji PNS, TNI dan Polri sebesar 10 persen sebagai sebuah prestasi? Padahal secara agregat itulah kenaikan yang memiskinkan? Karena kenaikan secara agregat telah mengerogoti pendapat mereka lebih banyak hampir 30 persen dibandingkan sebelum kenaikan gaji. Belum lagi kenaikan biaya pendidikan yang makin tak terkendali karena pemerintah memotong drastis subsidi untuk pendidikan dan menjadikan PTM sebagai sebuah badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Apakah pemerintah tidak pernah berfikir, kenaikan harga minyak, listrik dan sembako akan memicu kenaikan harga-harga lainnya secara agregat? Atau memang pemerintah menutup mata?

Dari sisi energi di tahun 2011 kita akan dihadapkan pada beberapa kondisi yang pasti akan diterapkan, dan pada energi kita akan ada kenaikan harga listrik, kenaikan harga BBM, dan bahkan LPG. Bahkan tahun 2011 pemerintah pun mencanangkan konversi energi dari BBM ke BBG atas nama penghematan subsidi.

Mengacu pada uraian diatas, maka saya ingin mendiskusikan dengan anda tentang hal ini. Mari kita diskusi tentang energi untuk rakyat, tentang seberapa besar keberpihakan pemerintah pada rakyat? Benarkah semua kebijakkan saat ini sifatnya jangka pendek untuk membiayai belanja pemerintah yang berkuasa tanpa memperhatikan keberlanjutan energi dimasa depan? Apa pendapat anda sebagai warga negara? Dan bagaimana para profesional menyikapi ini?

hmm..mendiskusikan Energi minyak membutuhkan energi yg banyak, dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia saat ini (korupsi, pendanaan, SDM, dsb) saya pikir tidak akan mudah untuk menasionalisasi pengelolaan tambang minyak, malah mendekati pesimis klu hal tersebut bisa dilakukan dengan baik..

kita ambil contoh 3 hal saja :

1. Korupsi : sudah rahasia umum bahwa hal ini sangat mengakar dalam birokrasi Indonesia, termasuk juga dalam industri pertambangan, pengusaha pertambangan akan menghadapi tembok korupsi mulai dari tahap awal (pengurusan izin peninjauan lokasi prospek) yang semestinya gratis tapi nyatanya surat izin ini diperjualbelikan dengan harga tinggi, belum lagi membicarakan perda-perda tambang tiap daerah yang berbeda-beda dan banyak memiliki lubang untuk penyelewengan.

2. SDM : Indonesia memiliki banyak tenaga profesional di bidang pertambangan dan pendukungnya tapi masih sangat jauh dari kebutuhan dalam negeri apalagi kalau mau bicara soal nasionalisasi, di pemerintahan banyak sekali Dinas Pertambangan & Energi Provinsi/kabupaten dipimpin oleh sarjana pendidikan, pertanian atau yang lain karena tidak memiliki formasi yang cukup mulai dari tingkat dibawahnya, bagaimana jadinya nasionalisasi pertambangan dan energi kalau untuk hal yang mendasar saja belum tercukupi?.

3. Dana : kalau ingin bicara nasionalisasi berarti harus mulai pula memikirkan sumber dana alternatif untuk mendanai eksplorasi bahan tambang/minyak padahal hampir tidak ada Bank/Lembaga keuangan dalam negeri yang mau/rela membiayai bisnis yang memiliki resiko tinggi seperti tambang.

hitung-hitungan yang disederhanakan seperti ini..misalkan kita ingin eksplorasi meneliti kandungan mineral suatu area seluas 10 ribu hektar, diperlukan 1500 titik bor dengan kedalaman 100-2000m dengan biaya katakanlah Rp 300 ribu permeter, maka dibutuhkan dana total Rp 45.milyar s/d 900 milyar cuma untuk biaya pemboran di satu tahap eksplorasi saja yang hasilnya belum tentu prospektif untuk ditambang. padahal ada beberapa tahapan mulai dari recon - general survey - eksplorasi - dst, yang membutuhkan biaya besar. jujur saja mungkin tidak ada lembaga keuangan dalam negeri yang akan membiayai proses ini, membutuhkan dana besar dari konsorsium bank luar negeri untuk memulainya dan inilah yang dimiliki oleh mining/oil company besar didunia.

menurut saya Indonesia bukanlah Venezuela yang bisa menasionalisasi perminyakannya, kita harus realistis menilai kondisi dalam negeri, butuh waktu yang panjang untuk melaksanakan ini dan selama hal ini diusahakan mungkin ada baiknya memikirkan energi alternatif lain. dan mengusahakan bagaimana pengusaha Indonesia mau mulai melirik bidang energi alternatif yang memang saat ini hampir-hampir tidak memiliki competitor.

kemungkinan lebih murah mendirikan pabrik solar cell/panel produksi dalam negeri dibanding mendanai eksplorasi perminyakan/pertambangan, tapi saat ini harga solar panel dan pendukungnya masih sangat tinggi untuk dijangkau industri kecil dan masyarakat umum padahal sumber energi matahari Indonesia tidak terbatas. Belum lagi kalau kita mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan energi alternatif lain yang bisa mamberikan manfaat kepada orang banyak, bahkan sampah pun sekarang sudah menjadi energi listrik, manfaatkan kreatifitas entrepreneur Indonesia yang sudah sering terbukti di lapangan bisnis untuk mencari solusi dan mengembangkannya buat masyarakat.

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers