Thursday, January 27, 2011

BELAJAR DARI ‘KASUS PATEN”

Memahami perilaku merek perlu dilakukan oleh para pemasar dan hal ini dapat dilaksanakan dengan membangun persepsi melalui jalur merek (brand equity). Ekuitas merek (brand equity) adalah seperangkat asset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama dan atau simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa, baik bagi pemasar/perusahaan maupun pelanggan.

Bagi pelanggan ekuitas merek dapat memberikan nilai dalam memperkuat interprestasi proses informasi, memupuk rasa percaya diri dalam pembelian, serta meningkatkan pencapaian kepuasan. Nilai ekuitas merek bagi pemasar/perusahaan dapat mempertinggi keberhasilan program pemasaran dalam memikat konsumen baru atau merangkul konsumen lama. Hal ini dimungkinkan karena dengan merek yang telah dikenal maka promosi yang dilakukan akan lebih efektif.

Satu tahun yang lalu, tepatnya Kamis, 19 Mei 2005, Pengadilan Niaga Jakarta mengabulkan pembatalan merek Enerjos milik PT Sayap Garuda Mas Utama, yang dimohonkan oleh pemilik merek Extra Joss, PT Bintang Toedjoe. Informasi ini hampir dimuat oleh semua media, baik cetak, maupun elektronik dan menjadi bahan perbincangan menarik berbagai kalangan, terutama kalangan indutri dan kalangan intelektual.

Ada yang menarik dari kasus ini bagi perusahaan seperti PT Amerta Indah Otsuka sebagai produsen produk dengan merek ‘Pocari Sweat’ yang telah terdaftar pada Direktorat Jenderal HAKI sebagai pemegang paten atas merek tersebut, artinya jika pada suatu saat ada produk yang memiliki kesamaan bunyi, visual dan bunyi ucapan, baik pada kategori yang sama ataupun berbeda, dapat kita gugat secara hukum di Pegadilan Niaga. Pendaftaran hak paten atas merek memang merupakan sebuah keharusan bagi produsen, karena merek merupakan sebuah simbol kekayaan yang memang harus dibangun, karena di dalam merek terkandung misi dan visi perusahaan. Untuk perusahaan seperti AIO, pendaftaran paten atas merek POCARI SWEAT menjadi sangat strategis karena selain menjadi satu-satunya produk yang kita hasilkan, juga sebagai langkah antisipatif untuk masa depan produk kita ini.

Berkaca dari kasus Extra Joss yang mampu memenangkan gugatan atas EnerJos, lalu apakah PT Amerta Indah Otsuka selaku pemegang paten atas merek POCARI SWEAT melalui Pengadilan Niaga bisa membatalkan merek ‘Kino Sweat’ karena notabene memiliki kesamaan kata ‘Sweat’?. Wacana ini mengemuka dan menjadi perbincangan dimana-mana. Untuk itu, dengan segala keterbatasan pengetahuan yang saya miliki tentang merek dari sisi manajemen dan hukum, saya mencoba menjelaskan hal.

Extra Joss, memperkarakan Enerjos karena, lebih didasarkan atas penggunaan kata ‘Jos’ pada ‘Enerjos’, padahal dari sisi penulisan jelas berbeda karena penulisan merek Extra Joss dengan dua hurus S sedangkan Enerjos hanya dengan satu huruf S. Walaupun secara penulisan berbeda tetapi kedua penulisan tersebut menurut hukum paten tidak bisa dibenarkan karena Joss dan Joss dapat dibaca dengan cara yang sama. Identik memang dengan kasus yang dihadapi oleh Amerta, karena Kino Sweat menggunakan kata ‘Sweat’ yang kebetulan juga digunakan oleh produk POCARI SWEAT t. Identik memang karena ada kesamaan bunyi pada kata-kata ‘Sweat’.

Terlepas dari kedua kata tersebut, sesungguhnya dari kacamata hukum paten, Enerjos memang tidak bisa menggunakan kata-kata Jos pada mereknya. Jadi apa yang dialami oleh PT Sayap Mas Utama sudah dapat diperkirakan oleh kalangan intelektual, jauh sebelum masalah ini mengemuka. Namun kasus ini memiliki keunikan tersendiri dalam catatan tersendiri dalam sejarah merek. Karena di Indonesia law enforcement atas paten sangatlah rendah dan keputusan pengadilan belum tentu dapat mengikat seketika, karena proses hukum yang panjang dan berbelit-belit.

Kata ‘Joss’ adalah kata yang ditemukan, diperkenalkan dan digunakan sebagai merek pertama kali oleh Extra Joss. Jadi paten yang dipegang oleh Extra Joss lebih dominan karena penggunaan kata Joss pada merek tersebut. Jika kita telaah lebih dalam, kata Joss hampir dipastikan tidak pernah digunakan secara umum dalam percakapan baik formal maupun informal di Indonesia bahkan di Dunia. Bahkan kata ‘Joss’ tidak terdapat dalam kamus-kamus yang berlaku umum, yang menjadi tempat kita mengacu mencari padanan sebuah kata. Beda halnya dengan kata ‘Extra’ yang hampir semua kalangan mengetahui artinya secara persis dan tepat, bahkan sering dipergunakan dalam percakapan formal maupun formal jadi kata-kata Extra mutlak tidak bisa dipatenkan, dan semua produk bebas menggunakan kata ini pada produknya baik berdiri sendiri maupun dirangkaikan dengan kata lain.. Beda kasusnya jika Sayap Mas Utama menggunakan merek ‘Ener Extra’, mungkin kasus ini tidak akan pernah ada.

Kasus-kasus yang sama dapat kita contohkan dengan penamaan perusahaan. ACNielsen adalah nama perusahaan sekaligus nama paten. Hukum menjamin bahwa tidak seorangpun atau satu lembaga pun dapat menggunakan ACNielsen sebagai bagian dari rangkaian kata yang menjadi nama perusahaan. Namun kata-kata umum bisa digunakan secara luas, asal dirangkaikan dengan kata sehingga tidak memiliki arti yang sama, seperti PT Rajawali Citra Televisi Indonesia dengan PT Rajawali Citra Perkasa, Sayap Garuda Mas dengan Garuda Indonesia dan Garuda Food. Pantai Indah Kapuk dengan Pondok Indah Realthy bahkan Amerta Indah Otsuka, dan masih banyak kasus lainnya. kata-kata tersebut memiliki arti umum dan dapat ditemukan di kamus-kamus.

Lalu Bagaimana Dengan Pocari Sweat, Kino Sweat, Optima Sweat Pro Sweat, Mari Sweat? Dan Sweat-Sweat Yang Lain? Membaca uraian diatas, maka dapat dipastikan bahwa Pocari Sweat tidak bisa berbuat banyak atas pendatang baru tersebut, karena kata ‘sweat’ tidaklah pertama kali digunakan, diperkenalkan dan digunakan pertama kali oleh pihak Otsuka. dan kata-kata tersebut terdapat di kamus-kamus umum yang dipakai oleh semua kalangan. Analogi yang sama dapat kita samakan dengan kasus Peggy Melati Sukma yang tidak bisa mempatenkan kata-kata ‘pusing’ namun sedikit berbeda dengan Kelompok Musik Dewa yang menggunakan kalimat ‘Arjuna Mencari Cinta’ sebagai judul album, karena persis sama dengan judul sebuah novel karya yudhistira yang memang terdaftar sebagai sebuah paten.

Jadi bahkan tidak masalah jika suatu masa ada produk isotonik menggunakan kata PACORI SWEAT, walau hanya merubah posisi huruf. Namun uniknya akan jadi masalah dan bisa kita gugat sebuah produk kategori apapun yang memakai merek ‘POKARI SWEAT’, POKKARI SWEAT, POCARY SWEAT, POCCARI SWEAT. karena jelas memilki kesamaan bunyi dan pengucapan, termasuk jika ada produk yang menggunakan kata POCARI sebagai bagian dari merek dagang, seperti POCARI TEA, POCARI COFEE.

Saya tidak mengikuti perkembangan lebih lanjut tentang kasus Extra Joss dan Enerjos, namun jika memang di pengadilan tingkat Banding, ternyata Enerjos menang, atau memang proses hukum yang terlalu lama dan belum berkekuatan tetap, sehingga hingga sekarang produk yang diperkarakan tersebut masih beredar di pasar, lalu apakah Bintang Toedjoe harus merelokasikan pabriknya ke luar negeri merupakan sebuah langkah bijak? Saya katakan tidak! Bahkan terkesan tidak cerdas, dan tidak didasarkan pada analisis pasar dan portfolio merek yang baik.

Seharusnya Extra Joss mampu memetik manfaat atas apa yang dilakukan pesaing baru itu, seperti yang dialami oleh POCARI SWEAT saat ini. Amerta Indah Otsuka sebagai produsen POCARI SWEAT justru makin mengukuhkan diri sebagai Market Leader di kategori Isotonik, dengan pertumbuhan penjualan yang sangat signifikan justru ditengah maraknya persaingan di pasar itu. Merek-merek yang menggunakan kata-kata SWEAT bahkan tak berdaya menghadapi keperkasan POCARI bahkan lambat laun hilang di pasaran, termasuk minuman katogori yang sama dengan merek tanpa ‘SWEAT’.

Lalu jika kasus extra joss tidak bisa disamakan dengan kasus POCARI SWEAT dari sisi keberhasilan, dimana letak salahnya? Jika memang keberadaan Enerjos bener-benar mengusik keberadaan Extra Joss, bahkan menggerogoti secara perlahan namun pasti, maka menurut saya PT Bintang Todjoe perlu melakukan kaji ulang tentang product strategy bahkan marketing strategy mereka, dengan melakukan audit secara komprehensif terhadap strategy yang telah dilakukan.

Mungkin selama ini Extra Joss dipasarkan lebih ‘product oriented’ dan tidak ‘Consumer centric’. Mungkin Extra Joss terlalu berafiliasi pada menjual sebanyak mungkin dibanding mengelola pasar dan mengelola merek, mungkin Extra Joss terlalu percaya diri dengan aktivitas marketing Above The Line yang mereka lakukan dengan mengabaikan Bellow The Line, mungkin Extra Joss melakukan perluasan pasar terlalu cepat tanpa didahului oleh penetrasi di tempat yang seharusnya terkelola. Jadi secara halus dapat dikatakan Extra Joss selama ini melupakan ‘kedekatannya’ dengan konsumennya dan membanjiri pasar tanpa membangun ekuitas dari mereknya, dan masih banyak lagi kemungkinan lain yang sebenarnya harus diaudit kebenarannya, dengan melibatkan semua pihak di dalam perusahaan.

Kenapa demikian? Sebetulnya jika dari awal Extra Joss mampu membangun ekuitas merek, mengelola pasar dengan baik dan mengkomunikasikan produk dengan baik, dalam arti tidak hanya menjadi market leader di pasar, melainkan juga di hati konsumennya, maka hal ini tidak perlu dirisaukan, bahkan tidak perlu terjadi. Sesungguhnya ’Enerjos’ mungkin membaca kelemahan-kelemahan ini dan memanfaatkannya dengan cerdas. Saya sangat yakin, jika Extra Joss sedari awal melakukan hal diatas, membangun ekuitas mereknya, mendidik konsumen dengan sabar, membentuk mereka menjadi satsfied buye, like the brand buyer dan committed buyer, maka segala yang dilakukan Enerjos justru akan menuntungkan Extra Joss dari sisi apapun. Namun kenyataannya, kata-kata JOSS tidak melekat erat di hati konsumen, dan disinilah letak kekeliruan yang mendasar itu.

Mengingat nilai ekuitas merek sangat besar sumbangannya bagi pelanggan maupun pemasar dan dalam rangka menghadapi kondisi pasar yang kompetitif seperti sekarang ini, dimana preferensi dan loyalitas pelanggan menjadi kunci kesuksesan, maka asset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama, atau simbol perusahaan sehingga asset dan liabilitas mendasari brand equity (ekuitas merek). Dengan demikian bagi para pemasar silakan untuk selalu meningkatkan ekuitas merek produk yang dijualnya, melalui peningkatan: brand awareness, brand association (asosiasi merek), perceived quality, brand loyalty dan other proprietary brand assets.

Berdasar empat dimensi ekuitas merek yaitu: brand awareness, perceived quality, asosiasi-asosiasi dan brand loyalty dapat mempengaruhi alasan pembelian konsumen. Bahkan seandainya brand awareness, perceived quality, dan asosiasi-asosiasi tidak begitu penting dalam proses pemilihan merek, ketiganya dapat mengurangi keinginan atau rangsangan konsumen untuk mencoba-coba merek lain.

Brand loyalty yang telah diperkuat merupakan hal penting dalam merespons inovasi yang dilakukan para pesaing. Perlu diingat bahwa pelanggan yang loyal tidak menyukai produk dengan kualitas yang rendah. Perusahaan juga dapat menggunakan brand association sebagai dasar penentuan strategi positioning (penentuan posisi produk/merek), sehingga memungkinkan perusahaan memperoleh margin yang lebih tinggi.

Pertumbuhan dan perluasan merek ke arah produk lainnya dapat menciptakan bisnis baru dengan biaya yang relatif lebih murah. Peningkatan penjualan dapat diperoleh perusahaan karena mampu menciptakan loyalitas saluran distribusi. Supermarket, toko dan tempat-tempat penjualan lainnya tidak akan ragu-ragu untuk menerima suatu produk dengan ekuitas merek yang kuat serta sudah dikenal para konsumen. Pada akhirnya produk dengan ekuitas merek yang kuat akan dicari oleh anggota saluran distribusi karena mereka yakin bahwa produk tersebut akan memberikan keuntungan.

Dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing, perusahaan dapat menggunakan aset-aset ekuitas merek lainnya untuk memperoleh keuntungan. Biasanya bila dimensi utama dari ekuitas merek yaitu brand awareness, brand association, perceived quality dan brand loyalty sudah kuat, maka secara otomatis aset ekuitas merek lainnya juga ikut kuat. Sebagai contoh kesetiaan perantara maupun pemasar sangat tergantung pada kekuatan keempat elemen utama dari ekuitas merek. Pada umumnya mereka tidak ragu lagi terhadap perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat, sehingga kepercayaan untuk memasarkan produknya semakin meningkat.

Dari sini kita dapat belajar, bahwa sesuatu yang dibangun terlalu cepat tidaklah selalu baik. Untuk masa depan sebuah produk, membangun ekuitas merek itu haruslah menjadi fokus utama. Dan sangat bijak jika kita lebih mengkomunikasikan differensiasi produk dibanding larut dalam pertengkatan. Mengelola konsumen itu jauh lebih utama dibandung perluasan pasar, sehingga seburuk apapun persaingan dan keadaan pasar, penjualan akan tetap sustainable yang didasarkan pada Competitive advantedge suistainable. Diakhir tulisan ini saya mengajak kita menengok sejenak keberhasilan beberapa merek yang sukses membangun brand equity, bahkan ketika banyak produk sejenis meramaikan pasar, mereka tetap mencetak angka penjualan yang terus bertumbuh. Lihatlah, kenapa orang lebih memilih Telivisi merek SONY dibanding merek lainnya, kenapa orang lebih memilih AVANZA dibanding XENIA, padahal secara apapun banyak kesamaannya, bahkan dari sisi atributte. Kelebihan SONY dan AVANZA, selain mampu membangun brand equity, mereka juga sukses membangun image, baik brand image maupun corporate image.

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers