Monday, October 25, 2010

GERAKAN MAHASISWA DAN PERS MAHASISWA

Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia

Gerakan mahasiswa sebagai gerakan massa dalam sejarah Indonesia sebenarnya baru muncul pada tahun 1966. Namun, jika kita menggunakan definisi yang lebih longgar, di mana yang dimaksud sebagai gerakan mahasiswa mencakup komunitas sosial yang menjalankan aktivitasnya dalam upaya berperan dalam proses politik, peran gerakan mahasiswa sebenarnya sudah lama ada. Yakni, sejak masa kolonialisme.[1]

Sebelum kemerdekaan, sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia pada awalnya sangat terkait dengan lahirnya gerakan kebangsaan. Kehadiran mereka merupakan produk situasi yang didorong oleh perubahan sikap politik pemerintah kolonial Belanda dengan politik etisnya pada 1901. Politik Etis merupakan ganti rugi atas penderitaan rakyat Indonesia selama di bawah kolonial Belanda, dan dengan politik ini Belanda ingin memperlihatkan diri memerintah atas dasar moral.[2]

Di bawah politik itu, kaum muda pribumi –khususnya dari kalangan masyarakat atas (ningrat) dan yang bekerja pada pemerintah kolonial-- mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga, yang semula hanya boleh dimasuki orang Belanda dan warga asing lainnya. Karena keterbatasan fasilitas akademis di Hindia Belanda, banyak pemuda pribumi yang berhasil lulus dari sekolah menengah atas bantuan pemerintah kolonial di kirim untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi di negeri Belanda.

Para mahasiswa pribumi generasi awal inilah, berkat pendidikan yang mereka raih telah memperoleh kesadaran politik tentang kondisi bangsanya yang terjajah. Suasana pemikiran tersebut diorientasikan pada proses penyadaran kemanusiaan dan sosialisasi wacana nasionalisme melalui kelompok-kelompok pergerakan.

Pergerakan nasional dengan wadah perjuangan yang memiliki struktur pengorganisasian yang modern pertama kali diperlihatkan oleh Boedi Oetomo, yang didirikan pada 1908. Boedi Oetomo yang dimotori pemuda dan mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, sebuah sekolah kedokteran di Jakarta, pada saat itu masih dipengaruhi oleh obsesi kebesaran budaya Jawa. Namun terlepas dari sisi primordialisme itu, kehadiran Boedi Oetomo merupakan refleksi dari sikap kritis dan keresahan intelektual.

Pada 1908, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda juga membentuk sebuah organisasi perhimpunan yang dinamakan Indische Vereeniging. Semula organisasi ini hanya merupakan pusat kegiatan diskusi bagi para mahasiswa tentang perkembangan situasi di Tanah Air, namun kemudian berkembang menjadi wadah berorientasi politik yang jelas untuk kemerdekaan Indonesia. Indische Vereeniging, sejalan dengan perubahan orientasinya, berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging pada 1922, dan berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia pada 1925.

Berdasarkan sejumlah masalah yang diinventarisasikan oleh pengurus Perhimpoenan Indonesia waktu itu, muncul sikap menentang terhadap penjajah, tidak mau berdamai, serta tak kenal kerjasama. Semangat itu terlihat dalam pernyataan dasar-dasar Perhimpoenan Indonesia, yang intinya sebagai berikut:
1. Masa depan bangsa Indonesia semata-mata tergantung pada susunan pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
2. Untuk mencapai itu, setiap orang Indonesia harus berjuang sesuai kemampuan serta bakatnya, dengan tenaga dan kekuatan sendiri.
3. Untuk mencapai tujuan bersama itu, semua unsur atau lapisan rakyat perlu kerja sama seerat-eratnya.[3]

Perluasan jaringan gerakan politik mahasiswa meningkat setelah di Tanah Air didirikan perguruan tinggi pertama, yakni Sekolah Tinggi Teknik di Bandung pada 1920, disusul Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta tahun 1924, dan perubahan STOVIA menjadi Fakultas Kedokteran di Jakarta tahun 1927. Selain karena Politik Etis, pendirian perguruan-perguruan tinggi ini bertujuan memperoleh tenaga-tenaga menengah lokal yang diperlukan untuk perluasan ekonomi kolonial, yang kurva pertumbuhannya berpuncak pada 1920-an.[4]

Serombongan mahasiswa yang kuliah di negeri Belanda pulang ke Tanah Air pada 1923. Mereka lalu membentuk kelompok-kelompok studi sebagai kekuatan alternatif pergerakan, karena kecewa dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan partai-partai politik yang ada, juga tidak cocok dengan wadah pergerakan pemuda yang bersifat primordial. Pilihan ini dipengaruhi pertimbangan rasional yang melatarbelakangi suasana politis waktu itu.

Untuk merekatkan berbagai wadah kebangsaan, didirikanlah PPPI (Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia) pada 1926. Ketika itu, belum ada prototip organisasi yang menghimpun seluruh elemen organisasi gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan, sehingga PPPI dapat dikatakan pemula. Pada

Kongres Pemuda I, Mei 1926, diletakkan komitmen oleh aktor-aktor gerakan pemuda dan mahasiswa untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan primordial di antara mereka dan menciptakan kesatuan bangsa. Kemudian pada 28 Oktober 1928, dicetuskan Sumpah Pemuda melalui Kongres Pemuda II di Jakarta, yang dimotori PPPI.

Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942. Penguasa baru ini melarang semua kegiatan yang berbau politik, dan membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa, serta partai politik. Banyak perguruan tinggi juga ditutup. Karena kondisi yang lebih represif itu, mahasiswa memilih melakukan kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Kebon Sirih, dan Asrama Cikini.[5] Para mahasiswa inilah yang kemudian menjadi pemuda generasi ’45, yang bangkit merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan cara pemuda.

Sampai Jepang masuk ke Indonesia, peran politik mahasiswa sangatlah kecil, apalagi jumlah mereka sangat terbatas, pada waktu itu cuma 637 orang,[6] padahal jumlah mahasiswa golongan Eropa lebih dari dua kali lipat mahasiswa Indonesia. Harsya W. Bachtiar malah menyebut angka lebih rendah, 387 orang.[7] Sedangkan Joseph Fischer menyatakan, jumlah sarjana Indonesia pada permulaan masa kemerdekaan adalah 1.100 orang.[8]

Sesudah periode perang kemerdekaan, 1945-1950, pemerintah berusaha mengurangi ketimpangan peninggalan kolonial ini. Meski demikian, pada masa Demokrasi Parlementer ini sebagian besar mahasiswa masih dari golongan atas, yang berlatarbelakang aristokrat, priyayi, dan anak pegawai tinggi pemerintahan. Karena jumlahnya yang masih sedikit, mahasiswa waktu itu yakin akan tertampung dalam birokrasi dan sadar akan perannya sebagai elite masa depan. Banyak aktivis mahasiswa juga punya hubungan dekat dengan elite politik. Dari sisi subyektif mahasiswa, ini menjelaskan mengapa pada masa demokrasi parlementer waktu itu praktis tak ada gerakan mahasiswa yang berfungsi politik, yang kritis terhadap pemerintah.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, terutama setelah tahun 1960, terjadi eksplosi pendidikan dengan meningkatnya jumlah mahasiswa, karena murid SLTP dan SLTA di tahun 1950-an kini bertumpuk jumlahnya dan semua ingin menjadi mahasiswa. Jika pada masa sebelumnya istilah “mahasiswa” identik dengan pekerjaan yang baik dan sukses sosial, pada 1960-an sebutan “mahasiswa’ menjadi lebih egalitarian sifatnya. Karena birokrasi pemerintah tak lagi sanggup menyerap semua lulusan ini, maka sarjana-sarjana baru ini beralih diserap ke bidang politik.

Pada Demokrasi Terpimpin, proses mobilisasi politik menyebabkan aktifnya organisasi-organisasi massa yang bebas atau pun berafiliasi pada partai politik. Juga terjadi peningkatan besar-besaran jumlah anggota organisasi mahasiswa ekstra-universiter, seperti GMNI, HMI, dan CGMI. Umumnya mereka menjadi onderbouw partai-partai politik, seperti: GMNI dekat dengan PNI, CGMI dekat dengan PKI, dan HMI dekat dengan Masyumi.
Akibatnya, perseteruan antar partai juga merembet pada perseteruan antar organisasi mahasiswa. Dalam hal ini, menonjol perseteruan antara CGMI yang pro-PKI dengan HMI yang anti-PKI. Ketika terjadi Peristiwa G30S, HMI bekerjasama dengan kekuatan militer Angkatan Darat menghancurkan PKI. Menjelang runtuhnya Demokrasi Terpimpin pada 1966, HMI muncul mempelopori pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), yang ternyata mendapat simpati rakyat. KAMI didukung kelompok pemuda dan pelajar mengajukan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)[9] dalam menghadapi PKI.

Pada akhir 1960-an dan awal tahun 1970-an, hadir generasi baru kaum muda, yakni pelajar dan mahasiswa yang lahir setelah kemerdekaan. Mereka tumbuh dalam kondisi ekonomi yang relatif lebih baik, menjadi pelajar pada masa Demokrasi Terpimpin, dan jadi mahasiswa demonstran pada 1966.

Setelah Orde Baru berkuasa, penguasa baru berusaha mengarahkan mahasiswa pada fungsi semata sebagai masyarakat akademis. Periode setelah 1970 menunjukkan merenggangnya hubungan antara gerakan mahasiswa di kampus dengan ormas mahasiswa ekstra-universiter.[10] Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai makin independennya gerakan mahasiswa dari kekuatan sosial-politik di luar kampus. Di sisi lain, pemutusan hubungan dengan organisasi politik di luar kampus ini membuat gerakan mahasiswa tak mampu mengorganisir diri di sekitar keresahan yang khusus secara politik.

Pada periode 1970-an ini mulai mengemuka peran gerakan mahasiswa sebagai “kekuatan moral” (moral force), yakni kalangan intelektual yang penuh idealisme dan berusaha mengoreksi berbagai penyimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun bukan bagian dari kelompok elite politik yang ingin mendapatkan kekuasaan. Dalam beberapa kasus, rezim bertindak akomodatif, namun juga bisa keras menghadapi tuntutan gerakan mahasiswa ini.

Salah satu pencetus konsep "kekuatan moral", Arief Budiman, menggambarkan peran gerakan mahasiswa sebagai "kekuatan moral" adalah seperti tokoh koboi Shane. Shane datang ke suatu kota kecil yang penuh dengan bandit yang kejam, dan lalu berhasil menghabisi bandit-bandit itu. Tetapi ketika kemudian diminta oleh para penduduk kota yang diselamatkan untuk menjadi sherif di kota itu, ia menolak. Shane lalu pergi begitu saja. Makna dari ilustrasi ini adalah bahwa gerakan mahasiswa tidak boleh pamrih dengan kekuasaan dan tidak boleh memiliki vested interests. Seperti Shane, gerakan mahasiswa harus tulus.[11]

Sejak 1974, konsolidasi kekuasaan negara sudah usai, dan protes-protes mahasiswa yang dianggap membahayakan –seperti peristiwa Malari-- ditindak dengan keras. Gerakan mahasiswa tahun 1977-1978 menunjukkan kekuatan Negara Orde Baru makin dominan, dan kekuatan masyarakat makin melemah. Hal ini terlihat dari tak adanya sambutan dari kelompok-kelompok politik lain terhadap upaya mahasiswa untuk melakukan perubahan politik, termasuk kecaman mereka atas terpilihnya Soeharto sebagai Presiden untuk ketiga kalinya.[12]

Kontrol terhadap Dewan Mahasiswa (DM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) juga makin ketat diberlakukan, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah No. 028/1974, setelah meledaknya peristiwa Malari 1974. SK ini memberi wewenang yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol mahasiswa.[13]

Pada 19 April 1978, sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa, konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) diterapkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Joesoef, melalui Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978. NKK/BKK ini baru diakhiri secara formal oleh Mendikbud Prof. DR. Fuad Hassan pada 28 Juli 1990, dengan keluarnya Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT).

Iklim politik nasional sementara itu makin menunjukkan penguatan rezim Orde Baru, yang ditandai dengan kemenangan Golkar yang didukung militer pada Pemilu 1971, 1977, dan 1982. Penguatan rezim Orde Baru ini diperkokoh dengan pencanangan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan pada 1982, penyeragaman pemahamannya sebagai ideologi melalui Tap MPR No. II/MPR/1978, serta pemberlakuan Paket 5 UU Politik pada tahun 1985, yang membatasi jumlah partai politik dan merampas kedaulatan rakyat.[14] Melalui Tap MPR No. II/MPR/1978 juga diberlakukan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) kepada berbagai kalangan masyarakat, birokrat sipil/militer, dengan metode indoktrinasi.
Terhadap dunia kemahasiswaan di Universitas Indonesia, pada periode awal 1980-an, diterapkan konsep Wawasan Almamater (institusionalisasi dan profesionalisasi, melalui transpolitisasi), yang meski dikatakan tidak sama dengan depolitisasi, esensinya adalah mahasiswa tidak bisa lagi menggunakan kampus sebagai basis kegiatan politiknya.[15]

Dalam gagasannya sebagai Rektor UI (dijabat sejak 15 Januari 1982), yang juga merangkap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sejak 16 Maret 1983), Nugroho Notosusanto, yang juga mantan aktivis pers mahasiswa era 1950-an, menolak konsep bahwa institusi universitas adalah kekuatan moral (moral force). Alasannya, dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, moralitas itu sendiri masih dalam keadaan berubah pula dengan sangat cepat, sehingga terasa seolah-olah ada kegoyahan nilai. Universitas sebagai bagian integral dari masyarakat, yang misinya tidak pada bidang moral, tentu tidak dapat menghindar dari hal yang sama.

Sedangkan dalam kaitan gerakan mahasiswa, konsep gerakan mahasiswa sebagai moral force ditolak karena alasan tersebut di atas, ditambah satu alasan lagi: Mahasiswa sendiri pada hakekatnya adalah warga masyarakat yang belum teruji keteguhan moralnya. Dalam istilah Nugroho, “mereka belum pernah digoda dengan uang dan perempuan.”[16]

Dalam situasi semacam itu, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa yang mau lepas dari belenggu apatisme, kecuali dengan merenungkan kembali peran dan kedudukannya serta melakukan otokritik terhadap gerakan mahasiswa sebelumnya. Maka aktivitas politik mahasiswa periode awal 1980-an lebih terkonsentrasi ke diskusi dan kontemplasi. Saat itulah, mulai bermunculan kembali kelompok-kelompok studi mahasiswa, khususnya di tiga kota utama: Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung.

Sebagian mahasiswa lain melakukan praksis sosial untuk memecahkan berbagai problem yang dihadapi masyarakat lewat kegiatan lembaga swadaya masyarakat (LSM).[17] Berbeda dengan protes-protes mahasiswa tahun 1970-an yang berfokus pada isu-isu nasional, misalnya strategi pembangunan dan peran modal asing dan korupsi, gerakan mahasiswa akhir 1980-an dan awal 1990-an berkonsentrasi pada isu-isu lokal. Mahasiswa memihak rakyat miskin yang dipaksa meninggalkan tanah mereka, memprotes kasus-kasus lokal dalam hal korupsi dan perusakan lingkungan.[18]

Salah satu contoh aliansi mahasiswa dengan petani adalah Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan di Kedung Ombo (KSKPKO), yang meliputi mahasiswa dari 45 universitas dan akademi, seniman, pekerja sosial, dosen, dan sebagainya. Kolaborasi aktivis mahasiswa dengan rakyat miskin di pedesaan dan perkotaan ini merupakan wajah baru aktivisme mahasiswa di era Orde Baru. Aktivis mahasiswa sebelumnya lebih cenderung beraliansi dengan aktor-aktor elite.[19]

Kontak intensif antaraktivis mahasiswa di berbagai kota melalui kelompok-kelompok studi dan pers mahasiswa merupakan ciri lain yang membedakan dengan gerakan mahasiswa era 1970-an, yang lebih terpusat di Jakarta dan Bandung. Gerakan mahasiswa yang baru ini lebih luas, memiliki kesadaran politik lebih tinggi, dan lebih siap dalam mengambil risiko aksi politik dibandingkan generasi gerakan mahasiswa sebelumnya.[20]

Gerakan Mahasiswa 1998

Gerakan mahasiswa 1998 muncul dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia, sesudah jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar AS, Juli 1997. Pada awalnya, gerakan ini bersifat lokal di sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta, dimulai dengan protes-protes atas kenaikan harga barang kebutuhan pokok, bahan bakar minyak, dan sebagainya. Kemudian aksi protes ini beranjak ke isu-isu politik yang makin tajam ke arah pemerintah Soeharto, dan akhirnya mengarah ke Soeharto sendiri.

Namun penyebab yang lebih mendasar tampaknya adalah meruncingnya pertentangan antara pihak penguasa, yang selalu hanya menuntut penegakan stabilitas dan efektivitas pemerintahan berhadapan dengan akumulasi kekecewaan dan tuntutan pembaruan di pihak masyarakat.[21] Berbagai tuntutan perubahan itu terangkum dalam jargon “reformasi.” Pada saat yang sama, krisis legitimasi yang dihadapi rezim Orde Baru telah mencapai ambang batas, apalagi dengan terjadinya krisis moneter yang melanda semua sektor kehidupan. Dalam kaitan ini, seruan mahasiswa bagi “reformasi” memperoleh momen yang tepat dan mendapat dukungan meluas dari masyarakat.

Gerakan mahasiswa 1998 tampaknya juga telah belajar dari kesalahan gerakan mahasiswa sebelumnya, seperti gerakan mahasiswa 1974 dan 1978, bahwa kekuatan gerakan mahasiswa tak akan bisa diperoleh jika terjebak dengan pendekatan eksklusif atau berjuang sendirian tanpa melibatkan rakyat. Gerakan mahasiswa baru akan efektif jika betul-betul secara konkret didukung bahkan kalau perlu melibatkan komponen-komponen rakyat.
Konsep melibatkan rakyat ini antara lain dilakukan kelompok mahasiswa Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI), organisasi mahasiswa nonformal di UI. Misalnya, ketika puncak-puncak aksi mahasiswa sedang berlangsung di gedung MPR/DPR Senayan, Mei 1998, KBUI mencoba memasukkan massa rakyat dari daerah sekitar kampus UI Salemba ke lingkungan gedung MPR/DPR Senayan.

Pendekatan kekuatan moral (moral force) masih dianggap relevan, namun dengan penafsiran yang lebih longgar. Mahasiswa sebagai kekuatan moral bukan berarti harus terkungkung dalam lingkungan kampus, tetapi harus keluar bergabung dengan komponen-komponen rakyat dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan demikian, tuduhan bahwa mahasiswa hanya mengatasnamakan rakyat menjadi tidak relevan, karena komponen mahasiswa dan komponen rakyat sudah melebur dalam aksi-aksinya, meskipun tetap komponen mahasiswa lebih dominan.

Dalam berbagai aksi mahasiswa 1998, misalnya, terlihat usaha pemanfaatan komponen non-mahasiswa tersebut, seperti pelajar SLTA, buruh, tukang becak, dan yang paling menentukan sebenarnya adalah golongan kelas menengah kota yang merasa dirugikan oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan terakhir rezim Soeharto. Merekalah yang paling banyak memasok logistik bagi aksi-aksi gerakan mahasiswa, seperti dana, makanan, akses informasi dan komunikasi.

Selain itu, tak bisa diabaikan dukungan diam-diam dari pihak asing, yang tampaknya juga sudah lelah berurusan dengan rezim Soeharto. Dukungan pihak asing tidak pernah bersifat langsung dan terang-terangan. Namun dengan terus mengalirnya bantuan dana untuk gerakan reformasi melalui LSM-LSM yang kritis terhadap rezim Soeharto pada puncak aksi-aksi mahasiswa 1998, bisa dianggap sebagai “lampu hijau” untuk meneruskan aksi. Gabungan LSM terdiri dari LKPSM-Nahdlatul Ulama, Interfidei, IDEA dan ARE pada 11 Februari 1998 juga mengeluarkan pernyataan sikap bersama menolak Soeharto.[22] Terakhir, pemberitaan media massa yang gencar tentang aksi-aksi mahasiswa –khususnya dari sejumlah stasiun televisi swasta— juga punya andil dalam menggelembungkan aksi-aksi mahasiswa.

Semula aksi-aksi mahasiswa masih terbatas dalam lingkungan kampus. Namun kemudian, meski coba dihalang-halangi oleh aparat keamanan, aksi mahasiswa akhirnya beranjak ke luar kampus. Di Universitas Indonesia sendiri, kampus yang punya andil besar dalam mendirikan Orde Baru, pada 25 Februari 1998 terjadi aksi penutupan baliho “Kampus Perjuangan Orde Baru” –yang dulu dipasang oleh mendiang Rektor UI Nugroho Notosusanto pada 1982—dengan kain putih. Ini mengisyaratkan, rezim Orde Baru sudah kehilangan legitimasi di kalangan mahasiswa UI yang dahulu mendukungnya.
Yang juga terlihat adalah keterlibatan dan dukungan alumni dan mahasiswa senior yang berpendidikan pasca sarjana terhadap gerakan mahasiswa. Ini adalah fenomena baru dalam gerakan mahasiswa. Di UI, kasus ini direpresentasikan dengan didirikannya Forum Mahasiswa Pasca Sarjana (Forum Wacana) UI, yang dalam konteks politis semula bertujuan untuk memberikan dukungan-dukungan konseptual terhadap gerakan mahasiswa yang mayoritas adalah dari strata S-1.

Pada 23 April 1998, Forum Wacana UI menyelenggarakan diskusi panel “Dari Kampus Orba Menuju Kampus Perjuangan Rakyat” di Balai Mahasiswa UI, Salemba dengan pembicara antara lain Satya Arinanto, Christianto Wibisono, Satrio Arismunandar, dan M. Fajroel Rachman.

Pada kesempatan itu, Forum Wacana UI mendeklarasikan Empat Gugatan Rakyat, yaitu: 1) Laksanakan Sidang Istimewa MPR; 2) Wujudkan aliansi ABRI dengan rakyat; 3) Turunkan harga hingga terjangkau rakyat (seperti sebelum 1 Juli 1997); 4) Kembalikan harta kekayaan kepada rakyat. Apabila keempat gugatan tersebut tidak terpenuhi, Forum Wacana UI memperingatkan, dapat terjadi ketidakpatuhan sipil (civil disobedience). Sejumlah anggota Presidium Forum Wacana UI kemudian sempat dilibatkan dalam rapat aksi kelompok mahasiswa di UI.[23]

Yang juga menarik adalah dukungan kalangan intelektual terhadap gerakan mahasiswa. Sejumlah 19 peneliti LIPI, yang justru dikenal sebagai pegawai negeri sipil, membuat pernyataan keprihatinan pada 20 Januari 1998, yang intinya adalah menolak Soeharto dan menuntut pergantian kepemimpinan nasional. Sejumlah guru besar dan dosen di berbagai perguruan tinggi –seperti UI, ITB, UGM, IPB, dan Unair-- juga mendukung gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa.

Para guru besar ini menandatangani pernyataan bersama, yang mengajak seluruh perguruan tinggi, para cendekiawan, kelompok profesional, dan organisasi kemasyarakatan, untuk mendukung gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa. Yang menandatangani antara lain: Prof. Dr. Emil Salim (UI), Prof. Dr. Oetomo D. (IPB), Prof. Dr. Ichlasul Amal (UGM), Prof. Dr. Loekman Soetrisno (UGM), Dr. Pruhito (Unair), Prof. Dr. Sudjana Sapi’I (ITB), Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana (ITB), dan Prof. Dr. M.T. Zen (ITB). [24]

Bagaimana hubungan gerakan mahasiswa dengan ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik nyata Orde Baru? Perbedaan yang jelas antara aksi mahasiswa 1998 dan 1966 adalah: pada gerakan mahasiswa 1998 mahasiswa menjaga jarak dari ABRI. Pada awalnya, ABRI mencoba bertindak sebagai jembatan antara tuntutan reformasi dari mahasiswa dan posisi ABRI untuk menjaga agar reformasi itu tetap dalam kerangka konstitusional, mengacu pada tatanan yang ada, sedapat mungkin gradual, dan yang penting tidak mengancam kepentingan ABRI sendiri.[25] Namun citra ABRI sebagai pengawal rezim selama Orde Baru menimbulkan ketidakpercayaan pada mahasiswa, maka keinginan ABRI menjadi penengah dengan rumusan kompromi itu pun gagal.

Puncak dari situasi yang memanas antara mahasiswa dan aparat keamanan adalah Insiden Trisakti, ketika terjadi penembakan oleh aparat keamanan tak dikenal terhadap massa mahasiswa di Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, yang menewaskan empat mahasiswa dan menyebabkan puluhan lainnya luka parah. Empat mahasiswa yang tewas itu—Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto—lalu dinobatkan sebagai “pahlawan reformasi.”

Dari peristiwa berdarah inilah momentum perubahan bergulir cepat, dimulai dengan kerusuhan massa di Jakarta pada 13-14 Mei 1998, kemudian pendudukan gedung MPR/DPR Senayan oleh puluhan ribu mahasiswa yang datang dari berbagai kota. Mereka menuntut Sidang Istimewa MPR dan pengunduran diri Soeharto. Di bawah tekanan aksi mahasiswa yang terus bergelombang, pimpinan MPR/DPR tak punya pilihan kecuali mendukung, dan pada 18 Mei 1998 mengeluarkan pernyataan yang meminta Soeharto mundur.

ABRI tampaknya menyadari, jika Sidang Istimewa MPR jadi digelar dengan agenda pengunduran diri Soeharto, persyaratan konstitusional sudah terpenuhi dan tak bisa lagi dijadikan dalih menghambat arus reformasi. Namun, jika Sidang Istimewa MPR ini sampai terjadi –dan kemungkinan ini cukup besar karena pimpinan MPR/DPR tampaknya sudah akomodatif terhadap tuntutan mahasiswa-- akan sangat mempermalukan Soeharto.

Bagi ABRI, akan lebih baik jika Soeharto mundur lebih dulu secara terhormat, ketimbang dipaksa mundur lewat Sidang Istimewa MPR. Pangab Jenderal TNI Wiranto memang tidak mungkin secara terbuka meminta Soeharto, seorang jenderal bintang lima dan sesepuh ABRI, untuk mundur. Permintaan macam itu juga bisa dipandang sebagai sikap tidak loyal. Maka ada dugaan, di sini Wiranto bermain dengan melonggarkan penjagaan di gedung MPR/DPR sehingga memudahkan ribuan mahasiswa bisa masuk ke sana. Sehingga bisa dikatakan, ABRI juga berperan dalam jatuhnya Soeharto dengan membiarkan mahasiswa melakukan aksi dengan leluasa, khususnya pada hari-hari terakhir menjelang 21 Mei 1998.

Sejarah Pers Mahasiswa di Indonesia

Sejarah pers mahasiswa di Indonesia bisa dibilang sama tuanya dengan sejarah gerakan mahasiswa itu sendiri. Pers mahasiswa didefinisikan sebagai pers yang dikelola mahasiswa. Namun rumusan ini memang kurang spesifik, karena ada berbagai macam pers mahasiswa.

Didik Supriyanto[26] membedakan dua jenis pers mahasiswa. Pertama, pers mahasiswa yang diterbitkan oleh mahasiswa di tingkat fakultas atau jurusan. Penerbitan ini biasanya menyajikan hal-hal khusus yang berkaitan dengan bidang studinya. Kedua, pers mahasiswa yang diterbitkan di tingkat universitas. Penerbitan ini menyajikan hal-hal yang bersifat umum.

Dalam penelitian ini, pemilahan dengan mengaitkan pada tingkatan penerbitan (jurusan, fakultas, universitas) itu dianggap tidak relevan. Yang dipandang lebih pas adalah dengan melihat langsung dari materi isinya, apakah bersifat umum atau spesifik keilmuan. Dalam konteks peran pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa, tentu yang lebih relevan adalah pers mahasiswa yang isinya bersifat umum, tidak spesifik keilmuan.

Didik masih membedakan lagi “pers mahasiswa” dari “pers kampus” atau “pers kampus mahasiswa”. Pers kampus dikelola oleh dosen, sedangkan pers kampus mahasiswa dikelola oleh dosen dan mahasiswa. Penelitian ini jelas hanya memfokuskan pada pers mahasiswa yang dikelola oleh mahasiswa, tanpa mempermasalahkan apakah pers mahasiswa itu diterbitkan di dalam kampus atau di luar kampus.
Selain itu, istilah pers mahasiswa sendiri telah dikukuhkan oleh tokoh-tokoh pers mahasiswa tahun 1950-an, seperti Nugroho Notosusanto, Teuku Jacob, dan Koesnadi Hardjasoemantri, ketika melahirkan Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI), Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI), yang keduanya lalu dilebur menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).

Menurut Nugroho Notosusanto, di negeri-negeri yang sudah tua, yang tidak lagi underdeveloped, pers mahasiswa sungguh-sungguh merupakan community paper daripada masyarakat mahasiswa. Ia tidak ambil bagian terhadap persoalan-persoalan nasional, atau setidaknya ia tidak ambil pusing. Namun di Indonesia dan negeri-negeri lain yang baru lahir (new-born countries), di mana jumlah kaum intelegensia sangat minim, keadaannya lain. Kaum intelegensia, sejak ia masih menuntut ilmu, sudah dituntut menyumbangkan pikiran, kepandaian, pengetahuan, dan pertimbangannya.[27]

Cikal bakal pers mahasiswa Indonesia tampaknya adalah Majalah Indonesia Merdeka yang diterbitkan pada 1924 oleh Perhimpoenan Indonesia di Nederland. Indonesia Merdeka merupakan nama baru dari Hindia Poetra, majalah yang diterbitkan Indische Vereeniging, yakni perkumpulan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang studi di negeri Belanda dan didirikan pada tahun 1908. Indische Vereeniging kemudian berubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging pada 1922, dan berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia pada 1924.[28]

Perubahan nama ini juga mencerminkan perubahan orientasi politik ketika itu, yakni para mahasiswa pribumi yang mulai terbuka kesadaran politiknya berkat pendidikan, menyadari realitas ketertindasan bangsanya. Oleh karena itu, mereka secara tegas menuntut Indonesia merdeka.

Nomor pertama Majalah Indonesia Merdeka menulis sebagai berikut: “Indonesia Merdeka meroepakan soeara Indonesia Moeda yang sedang beladjar, soeara jang pada waktoe ini moengkin tidak terdengar oleh pengoeasa, tetapi jang pada soeatu waktoe pasti akan didengar... Adalah meroepakan soeatu kesalahan oentoek menganggap remeh soeara itu, sebab dibelakang soeara itu, berdiri kemaoean pasti, oentoek tetap mereboet kembali hak-hak, tjepat atau lambat oentoek menetapkan kedoedoekan atau kejakinan ditengah-tengah doenia, jaitoe Indonesia Merdeka.”[29]

Sejarah mencatat, para mahasiswa Indonesia yang belajar di Nerderland ini kemudian pulang ke Tanah Air dan meneruskan perjuangannya bagi kemerdekaan negerinya. Mereka antara lain Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Nazir Datoek Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain.

Selain di negeri Belanda, para mahasiswa Indonesia yang belajar di Cairo, Mesir, pada 1930 juga menerbitkan berkala bernama Oesaha Pemoeda. Redaksinya adalah Abdoellah Aidid dan Ahmad Azhari. Beberapa aktivis mahasiswa di Cairo ini setelah pulang ke Tanah Air banyak yang ikut memegang tampuk pemerintahan, atau aktif di bidang dakwah dan pendidikan.

Sementara itu, pergerakan pemuda di Jawa sendiri dalam tahun 1914 juga sudah memiliki suratkabar sendiri. Berkala bernama Jong Java, yang pada tahun 1920 sudah mencantumkan tahun penerbitan yang ke-6, dan dicetak sampai 3.000 eksemplar. Suatu jumlah yang tidak sedikit pada waktu itu. Motonya: orgaan v.d studerenden. Jong Java, Perserikatan Pemoeda Djawa, Madoera dan Bali dari Sekolah Pertengahan dan Tinggi.

Di antara nama-nama yang tercantum sebagai pengasuh berkala itu adalah: Soekiman (yang kemudian menjadi Dr. Soekiman Wirjosandjojo, pernah jadi Perdana Menteri RI) dan Wiwoho (yang kemudian menjadi Wiwoho Poerbohadidjojo, anggota Volksraad zaman Hindia Belanda). Sedangkan yang dijadikan beschermheer (pelindung) adalah Zijne Hoogheid Prins Prangwadono, yang kemudian menjadi Mangkoe Negoro VII. Selain Jong Java, ada berkala Ganeca yang diterbitkan organisasi mahasiswa BSC pada 1923, dan Jaar Boek yang diterbitkan mahasiswa THS (sekarang ITB) pada tahun 1930-1941.

Ketika para pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda dan politik mengadakan kongres di Jakarta pada 1928, lahirlah Indonesia Moeda, yang mencetuskan Sumpah Pemuda: Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Persatuan: Indonesia. Organisasi pemuda dari berbagai suku bangsa ini lalu menerbitkan Soeara Indonesia Moeda. Organisasi lain yang memiliki onderbouw gerakan pemuda, seperti Moehammadiah (Pemuda Moehammadiah), Partai Sjarekat Islam Indonesia (Pemoeda Moeslimin), Nahdatul Oelama (Pemuda Ansor), masing-masing juga menerbitkan berkalanya.

Di zaman pendudukan Jepang, karena represi yang sangat keras, praktis kiprah pers mahasiswa tak terdengar. Namun ketika kemerdekaan Indonesia baru diproklamasikan, para pemuda mempelopori terbitnya suratkabar pembawa suara rakyat Republik Indonesia yang baru lahir itu.

Soeadi Tahsin, yang waktu itu pelajar Kenkoku Gakuin bersama beberapa temannya menerbitkan harian Berita Indonesia secara ilegal, untuk melawan pemberitaan propaganda dari Jepang yang disiarkan lewat Berita Goenseikanbu. Dengan bantuan para pelajar, mahasiswa dan pemuda lainnya, Berita Indonesia disiarkan bukan cuma di Jakarta, tetapi juga dibawa dengan kereta api dan alat angkutan lainnya ke pelosok-pelosok. Namun karena risiko yang terlalu besar di Jakarta waktu itu, Berita Indonesia lalu berhenti terbit.[30]

Sesudah pemerintahan RI hijrah ke Yogyakarta, perjuangan mempertahankan kemerdekaan pindah ke ke pedalaman. Sementara itu, para pemuda pelajar SLTP dan SLTA di Jawa dan Sumatra yang tergabung dalam Ikatan Peladjar Indonesia (IPI) –yang lalu setelah digabung dengan beberapa organisasi mahasiswa menjadi Ikatan Pemuda Peladjar Indonesia—juga menyelenggarakan penerbitan pers. Entah bersifat mingguan, tengah bulanan, atau bulanan. Beberapa cabang IPI –seperti cabang Solo, Jawa Timur, Blitar, Kediri dan Cirebon—serta Pengurus Besar IPI di Yogyakarta juga menerbitkan organ masing-masing.

Penyerbuan Belanda ke wilayah de facto RI menghentikan semua kegiatan penerbitan. Setelah kedaulatan RI diakui Belanda, tidak banyak lagi penerbitan mahasiswa. Banyak pemuda, pelajar dan mahasiswa kembali menuntut ilmu di sekolah masing-masing untuk mengejar ketinggalan mereka.

Setelah 1950, baru pers mahasiswa mulai tumbuh lagi. Dan pada 1955, komunitas penerbitan mahasiswa tumbuh lagi. Tercatat di Jakarta: Akademica, Mahasiswa, Forum, Vivat, Fiducia, Pemuda Masyarakat, PTD-Counrier, Ut Ommes Umum Sint. (GMNI), Pulsus, dan Aesculapium (Kedokteran).

Di Bandung: Bumi Siliwangi (IKIP), Gema Physica, Gunadharma, Intelegensia (FT ITB), Mesin, Suluh Pengetahuan, IDEA (PMB), Scientia (FIPIA), Synthesia (CMB-CGMI) dan Ganeca.

Di Yogyakarta: Criterium (IAIN), Gajah Mada (UGM), GAMA (UGM), Media (HMI), Tunas, Pulsus (PMKRI), Pantai Thei (Perhimi), Uchuwah (Islam), Universitas (Komunis). Di Surabaya: Ut Omnes Umum Sint (GMKI) dan Ta Hsueh Ta Chih. Di Makasar: Duta Mahasiswa (Dema Hasannudin). Di Medan: Vidia dan Gema Universitas. Di Padang: Tifa Mahasiswa (Dema Universitas Andalas).[31]

Karena jumlah pers mahasiswa yang tumbuh pesat, timbul keinginan untuk meningkatkan mutu redaksional maupun perusahaan. Atas inisiatif Majalah GAMA dan dukungan sejumlah majalah lain, diadakan Konferensi I bagi pers mahasiswa Indonesia di Yogyakarta pada 8 Agustus 1955, dihadiri wakil 10 majalah mahasiswa. Terpengaruh oleh organisasi di kalangan pers umum, konferensi itu menghasilkan dua organisasi: IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dengan Ketua T. Jacob dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) dengan Ketua Nugroho Notosusanto. Konferensi juga berhasil menyusun Anggaran Dasar IWMI dan SPMI, dan Kode Jurnalistik Mahasiswa.

Pada 1957, SPMI dan IWMI mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia I di Manila, yang diikuti wakil pers mahasiswa dari 10 negara. Konferensi itu menyetujui bahwa dalam negara yang sedang berkembang dituntut peranan lebih banyak dari pers mahasiswa untuk nation building. IWMI dan SPMI juga mengadakan kerjasama segitiga dengan Student Information Federation of Japan dan College Editors Guild of The Philippines.
Pada 16-19 Juli 1958, diadakan Konferensi Pers Mahasiswa Indonesia II, yang meleburkan IWMI dan SPMI menjadi satu: IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Jadi IPMI lahir pada akhir zaman Demokrasi Liberal dan awal Demokrasi Terpimpin, yang memberlakukan kontrol ketat terhadap kegiatan pers. Ini menjadi situasi yang sulit buat IPMI dan anggota-anggotanya yang menyatakan diri “independen.’ Padahal pers umum waktu itu banyak menjadi suara kepentingan kelompok atau partai politik.

Pers mahasiswa pun mengalami banyak kemunduran. Di Yogyakarta, Majalah Gajah Mada dan GAMA mati. Di Jakarta, Majalah Forum dan Mahasiswa berhenti terbit. Namun ada juga yang bertahan, seperti di Bandung: Arena (1959), Tjarano (1960), Pembina (Sospol Unpad, 1960), Harian Berita-berita ITB (1961), Gelora Teknologi (Dewan Mahasiswa ITB, 1964). Di Jakarta: Mahajaya (1961).

Menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin, oleh ormas kiri, IPMI sempat dituduh sebagai anak Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, karena tidak memasukkan Manipol-Usdek dalam AD/ART-nya. Untuk menyelamatkan organisasi, IPMI mengeluarkan pernyataan pada 10 September 1965, yang menegaskan bahwa IPMI adalah pembawa suara seluruh mahasiswa Indonesia, dan bukan golongan tertentu di kalangan mahasiswa Indonesia. IPMI merencanakan kongres pada Desember 1965, namun Peristiwa G30S keburu meletus.

Setelah PKI ditumpas akibat G30S, IPMI terlibat aktif dalam menghapus sistem politik Demokrasi Terpimpin. Setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto, dan dimulailah periode awal Orde Baru. Suhu politik meningkat dan sejumlah pers mahasiswa yang menyatakan diri sebagai anggota IPMI bermunculan.

Di Jakarta ada: Mahasiswa Indonesia (sudah terbit menjelang G30S/PKI) dan Harian KAMI (26 Juni 1966). Di Bandung: Mahasiswa Indonesia (Edisi Jawa Barat, 1966) dan Mimbar Demokrasi (30 September 1966). Di Yogyakarta: Mahasiswa Indonesia (Edisi Jawa Tengah) dan Muhibbah (UII, 11 Maret 1967). Di Banjarmasin: Mimbar Mahasiswa (1968). Di Pontianak: Mingguan KAMI (Edisi Kalimantan Barat, 1968). Di Surabaya: Mingguan KAMI (Edisi Jawa Timur, 1968). Di Malang: Gelora Mahasiswa Indonesia (1967). Di Makasar: Mingguan Kami (akhir 1966), dan lain-lain.

Pada periode awal Orde Baru ini, pers mahasiswa yang pemberitaannya memang lebih berani dan lebih kritis ketimbang pers umum kembali berjaya. IPMI sebagai organisasi pers mahasiswa melibatkan diri dalam politik dengan sekaligus menjadi Biro Penerangan dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. IPMI waktu itu diakui sejajar dengan organisasi pers lain oleh Departemen Penerangan RI. Hal itu menimbulkan dilema antara amatirisme dan profesionalisme, dan ramai diperdebatkan pada Kongres II IPMI di Kaliurang, 28-30 Juli 1969.

Namun bandul berayun mundur. Kebebasan yang dinikmati pada awal Orde Baru makin surut, dan rezim Orde Baru mulai menunjukkan watak otoriternya dengan mengontrol aktivitas kemahasiswaan. Pemerintah mengeluarkan konsep back to campus. Akibatnya, IPMI dan pers mahasiswa yang berada di luar kampus pun mau tak mau sangat dipengaruhi suasana itu. Dalam Kongres III di Jakarta, 1971, IPMI menerima konsep back to campus untuk mempertahankan kelangsungan eksistensinya, meski lewat perdebatan sengit.

Saat itu, Harian KAMI melepaskan diri dari IPMI dan menyatakan diri sebagai pers umum. Banyak penerbitan IPMI yang mati. Memang masih ada yang bertahan, namun hanya pers mahasiswa yang kecil-kecil di dalam kampus. Tahun 1971-1974 adalah tahun kemunduran bagi pers mahasiswa.

Setelah Peristiwa 15 Januari 1974, sejumlah pers umum yang besar dibreidel oleh pemerintah. Sementara itu di dalam kampus lahir sejumlah pers mahasiswa dan mereka diberi angin untuk hidup, sebagai subsistem dari sistem pendidikan tinggi. Muncullah Suratkabar Kampus Salemba (UI), Gelora Mahasiswa (UGM), Atmajaya (Unika Atmajaya), Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), Arena (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Airlangga (Universitas Airlangga, Surabaya). Seluruh pers mahasiswa yang terbit dalam kampus itu mendapat subsidi dari universitas masing-masing minimal 50% dari biaya penerbitannya, sehingga terjadi ketergantungan pers mahasiswa pada pimpinan universitas.

IPMI dalam Kongres IV di Medan, Maret 1976, masih belum mampu mencari solusi dari dilema hidup di dalam atau luar kampus. Keanggotaan IPMI yang bersifat penerbitan mahasiswa menjadi amat sedikit dan secara organisatoris lemah. Meski demikian, pemberitaan pers mahasiswa di dalam kampus, seperti Salemba (UI), Gelora Mahasiswa (UGM), dan Kampus (ITB), tetap berani melakukan kritik sosial secara tajam.

Pada 1978, pemerintah kembali melakukan pembreidelan terhadap beberapa suratkabar umum ternama. Kekosongan sementara pers umum ini diisi oleh pers mahasiswa, dan tiras pers mahasiswa mencapai puncaknya, sampai puluhan ribu eksemplar dan banyak dibaca orang di luar kampus. Tapi pemerintah kemudian juga membreidel penerbitan mahasiswa ini, dan baru boleh terbit lagi setelah enam bulan. Tapi belum genap setahun, Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus kembali dilarang terbit, karena isi pemberitaannya yang dianggap tidak berubah.

Dalam situasi ini, IPMI melangsungkan Kongres V di Jakarta, Mei 1980. Namun pemecahan yang mendasar terhadap permasalahan yang dihadapi belum ditemukan. Dengan sikap terus mempertahankan independensinya, IPMI menghadapi kesulitan. Menteri Pemuda dan Olahraga Abdul Gafur bertekad meng-KNPI-kan IPMI sebelum kongres, namun karena IPMI dalam kongresnya tetap menolak bergabung dengan KNPI, ancaman Gafur untuk mematikan IPMI pun dijalankan.

IPMI tak diberi izin untuk menyelenggarakan kongres berikutnya. Akses IPMI di lembaga penerangan pemerintah ditutup. Di beberapa kampus, pers mahasiswa tetap terbit, tapi tak ada lagi yang mencapai tiras besar seperti Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus. Eksistensi IPMI tahun 1980-1982 praktis hanya dipelihara dengan pendidikan dan pelatihan pers mahasiswa. Nama IPMI pun makin lenyap setelah kepengurusan terakhir habis masanya.

Baru pada akhir 1985, kehidupan pers mahasiswa mulai bersemi lagi.[32] Di UGM pada tahun 1986 terdapat 47 penerbitan fakultas dan jurusan, 26 di antaranya terus aktif, minimal sekali terbit tiap semester. Para pimpinan penerbitan ini mengadakan Seminar Pers Mahasiswa se-UGM dan menyepakati terbitnya media tingkat universitas berbentuk majalah yang berorientasi pada intelektualisme. Majalah yang terbit di bawah struktur BKK itu adalah Balairung, yang terbit pertama kali pada 8 Januari 1986. Pada 1989, di Yogyakarta tercatat 69 publikasi mahasiswa di beberapa kampus. Sampai dicabutnya NKK/BKK, Juli 1990, Balairung sempat terbit 14 kali, dengan tiras 2.500 – 5.000 eksemplar.

Di Universitas Indonesia, pada periode ini terbit Suratkabar Kampus Warta UI secara cukup kontinyu, yang dikelola mahasiswa dari berbagai fakultas. Namun karena ketergantungan keuangan dan kedekatan dengan pihak Rektorat UI yang tak bisa dihindari, pemberitaan Warta UI kurang tajam dan kurang banyak mengangkat isu politik dibandingkan Solidaritas. Warta UI juga sulit melakukan kritik terhadap pimpinan universitas didalam pemberitaannya. Meskipun demikian, sejumlah alumnus Warta UI kemudian berhasil berkiprah sebagai jurnalis profesional.

Di Jakarta, penerbitan mahasiswa yang menonjol justru di universitas swasta, yakni di Universitas Nasional (Unas). Pola kelahirannya mirip dengan Balairung. Atas prakarsa majalah Fisip Politika, pada Oktober 1986 diadakan Musyawarah Pers Mahasiswa Unas dan menyepakati diterbitkannya media tingkat universitas, yang kemudian bernama Solidaritas. Pengelola Solidaritas, yang terbit pada Desember 1986, banyak didominasi pengurus Politika.

Balairung dan Solidaritas cukup beruntung karena pimpinan universitas cukup apresiatif dan memberi cukup kebebasan. Namun Solidaritas dilarang terbit oleh Laksusda Jaya setelah edisi kedua beredar pada Januari 1987.

Rezim Orde Baru memang bersikap represif terhadap pers mahasiswa. Rezim melakukan pengekangan lewat Permenpen RI No. 01/Per/Menpen/1975, yang menggolongkan pers mahasiswa sebagai Penerbitan Khusus yang bersifat non-pers dan Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 mengenai Penerbitan Kampus di Perguruan Tinggi.[33] Melalui peraturan tersebut, peran pers mahasiswa diamputasi sehingga tidak leluasa lagi menulis hal-hal di luar persoalan akademik (kampus), dan mengalami pengkotak-kotakan. Seolah-olah mahasiswa FE hanya boleh bicara tentang ekonomi, dan mahasiswa FT hanya boleh bicara soal teknik, dan mereka terisolir dari persoalan-persoalan kemasyarakatan lainnya.

Pada periode ini juga terjadi pembreidelan terhadap sejumlah pers mahasiswa. Seperti: Arena (IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), Opini (FISIP Undip, Semarang), Dialogue (FISIP Unair, Surabaya), dan Vokal (IKIP PGRI Semarang). Pada 26 Juni 1993, Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Semarang (FKPMS) menggelar aksi bertema "Aksi Keprihatinan Pembredelan Pers Mahasiswa" dalam bentuk kemah keprihatinan di lapangan basket Undip, sebagai wujud solidaritas terhadap pembreidelan Arena. Aksi ini diikuti perwakilan lembaga pers mahasiswa dari sejumlah PTN dan PTS di Semarang.[34]

Pada 1992, aktivis mahasiswa Jakarta membentuk Solidaritas Mahasiswa Jakarta (SMJ) yang berbasiskan aktivis pers mahasiswa , yang diwadahi dalam organ FKPMJ (Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Jakarta) dan organ SMUJ (Senat Mahasiswa Universitas se-Jakarta). Elemen-elemen pers kampus di bawah FKPMJ antara lain: Black Post (ISTN), Aspirasi (UPN Jakarta), Citra Patria (Untag), Diaforma (Universitas Pakuan, Bogor), Gema Almamater (IPB), Didaktika (IKIP Jakarta), Driyarkara (STF Driyarkara), Format (IISIP), Politika (Unas), Perspektif dan Swara (UI), FAM (USNI), Konspirasi (Universitas Dr. Moestopo), Psynfo-UPI (YAI), dan Transparan (Unika Atmajaya). Aktivis pers mahasiswa yang membidani FKPMJ antara lain: Imron (IKIP Jakarta), Yana Supriyatna (IKIP Jakarta), Bob Randilawe (Untag), Danardono dan Hengky (Universitas Dr. Moestopo).[35]
Pers Mahasiswa 1998

Pada periode 1990-an, tidak banyak pers mahasiswa yang menonjol, apakagi memiliki tiras sampai puluhan ribu seperti Harian Kami. Juga tidak ada pers mahasiswa yang dibaca secara meluas di luar kampus seperti Salemba sesudah pembreidelan 1978. Meskipun demikian, di setiap kampus –khususnya di perguruan-peguruan tinggi yang sudah mapan—selalu ada penerbitan pers mahasiswa dengan tiras dan penyebaran yang beragam, entah di tingkat jurusan, fakultas, atau universitas. Entah isinya bersifat spesifik keilmuan atau bersifat umum.

Cara pengelolaan yang kurang profesional dan diberlakukannya kalender akademis dengan SKS yang ketat membuat penerbitan pers mahasiswa terbit seadanya. Jadwal penerbitan tidak teratur. Masalah klasik yang sering dihadapi adalah sulitnya memperoleh dana penerbitan dan regenerasi kepengurusan untuk mengelola pers mahasiswa. Iklim politik Orde Baru dengan sistem pendidikannya, yang sengaja dibuat agar mahasiswa lebih memusatkan diri pada studi dan mengurangi aktivitas lain yang berbau politik, ikut andil dalam hal ini. Toh meski dengan kondisi demikian, tetap ada pers mahasiswa yang hadir.

Di UI, misalnya, dikenal Media Aesculapius (Kedokteran), Teknika (Teknik), Gita Pertala dan Buletin KAPA FTUI (diterbitkan kelompok pencinta alam Kamuka Parwata FTUI), Architrave (Jurusan Arsitektur), Media Elektro (Jurusan Elektro), Warta Yon UI (diterbitkan Resimen Mahasiswa Batalyon UI), Suratkabar Kampus Warta UI (tingkat universitas), Economica (diterbitkan Badan Otonom Economica FEUI), Mini Economica (diterbitkan Badan Otonom Economica FEUI), Suara Mahasiswa UI (tingkat universitas), Viva Justicia (Fakultas Hukum), Gaung (Jurusan Sastra Indonesia), Ekspresi (Sastra Indonesia), Slovanik (Sastra Rusia), Historia (Sejarah), Gong (Sastra Jawa), Go Fisip Go (FISIP), Preventia (Fakultas Kesehatan Masyarakat), dan lain-lain.

Di kampus lain dan kelompok mahasiswa lain, misalnya: Bilik (Yayasan Abu Dzarr al-Giffari, mahasiswa Universitas Nasional), Citra Patria (Universitas Tujuh Belas Agustus, Jakarta), Suara Ekonomi (Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila), Dinamika (STAIN Walisongo, Salatiga), Didaktika dan Transformasi (IKIP/Universitas Negeri Jakarta), Spektrum dan Nurani (IISIP), Teknokra (Universitas Lampung) dan Republik (Fakultas Sospol Universitas Lampung), Pralaya (Universitas Bandar Lampung), Raden Intan (IAIN Lampung), Himmah (Universitas Negeri Yogyakarta), Balairung dan Bulaksumur (UGM, Yogyakarta), Ekspresi (Universitas Negeri Yogyakarta), Sintesa (Fisipol UGM), Pijar (Filsafat UGM), Media Publica (Fikom Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, Jakarta), Boulevard dan Ganesha (ITB, Bandung), Detak (Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh), Genta Andalas (Universitas Andalas, Padang), Suara USU (Universitas Sumatra Utara, Medan), dan banyak lagi.

Namun berbagai pers mahasiswa era 1990-an ini sudah sangat berbeda dengan pers mahasiswa era sebelumnya, khususnya sebelum 1970-an. Pers mahasiswa sekarang dilihat dari orientasi politik pengelolanya telah mengalami pergeseran. Pada generasi 1908, 1928, 1945, pengelola pers mahasiswa menjadikan medianya benar-benar sebagai alat perjuangan politik melawan penjajahan pihak luar. Pada saat yang sama, para pengelolanya juga aktivis-aktivis politik di tingkat nasional. Jadi kepentingan politik sangat mendominasi cara pengelolaan pers mahasiswa waktu itu.

Hal yang hampir serupa dimainkan oleh pengelola pers mahasiswa periode 1966 - 1971/74. pers mahasiswa seperti Harian Kami, Mimbar Demokrasi, Mahasiswa Indonesia waktu itu merupakan alat perjuangan untuk meruntuhkan “Orde Lama”. Para pengelolanya adalah orang muda yang pada masa Demokrasi Terpimpin tertekan aspirasi politiknya. Kaum muda yang umumnya dicap “PSI-Masyumi” ini memanfaatkan momentum sesudah peristiwa G30S, untuk menyalurkan aspirasi politik mereka dan terlibat aktif bersama Angkatan Darat untuk meruntuhkan sistem Demokrasi Terpimpinnya Soekarno.[36]

Jadi dasar aktivitasnya di pers mahasiswa adalah kesamaan aspirasi politik.
Pergeseran mulai terjadi pada pers mahasiswa periode 1971/74 – 1980, seperti Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus. Para pengasuh pers mahasiswa ini berasal dari mahasiswa yang pada mulanya didasari minat pada dunia jurnalistik. Karena latar belakang semacam itu yang dominan, keterikatan mereka pada pers mahasiswa lebih banyak oleh kesamaan minat pada jurnalistik. Sedangkan kritik sosial yang bebas, tanpa harus memihak kubu politik tertentu, ditempatkan sebagai fungsi utama penerbitannya.

Tampaknya ini sejalan dengan konsep gerakan mahasiswa sebagai “kekuatan moral” yang mulai dilontarkan pada 1970-an, di mana kritik sosial yang dilancarkan mahasiswa tidak dilandasi keinginan mahasiswa untuk memperoleh kursi kekuasaan. Kecenderungan ini tampaknya berlanjut pada pers mahasiswa periode 1980-an dan 1990-an. Para pengelolanya berminat pada dunia jurnalistik, namun tidak punya interest untuk duduk di kursi kekuasaan lewat aktivitas di pers mahasiswa. Dengan demikian, dari segi independensi sikap dan keberpihakan politik, pengelola pers mahasiswa mulai generasi 1971/74, 1980-an, dan 1990-an relatif lebih independen dan bebas, serta lebih heterogen aspirasi politiknya.

Warna gerakan prodemokrasi, yang tidak lagi berbasis di kampus, juga mewarnai pers mahasiswa 1990-an. Ini terlihat, misalnya, dari Kabar dari Pijar yang diterbitkan Yayasan Pijar (Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi). Dalam mencoba menerobos kebuntuan, sejumlah lembaga pers mahasiswa melakukan kerjasama pelatihan jurnalistik dengan organisasi profesi wartawan yang kritis terhadap Orde Baru, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang didirikan para jurnalis muda idealis pada 7 Agustus 1994.[37] Banyak aktivis pers mahasiswa juga terlibat dalam penyebaran dan penjualan Suara Independen, buletin AJI yang dianggap ilegal oleh pemerintah Soeharto waktu itu. Khususnya ini terjadi pada periode 1995-1997.
Menghadapi tekanan rezim dan adanya kesulitan dalam berkiprah secara terbuka dan formal, mendorong AJI untuk secara sadar membangun jaringan kerjasama dengan para aktivis pers mahasiswa di berbagai kampus, khususnya di kota-kota besar Pulau Jawa. Hal ini karena para aktivis AJI waktu itu menganggap peran pers mahasiswa cukup strategis dalam menghadapi rezim Soeharto.

Para aktivis pers mahasiswa juga dipandang oleh AJI sebagai kader-kader atau calon jurnalis potensial, yang suatu saat akan betul-betul terjun secara profesional dan mewarnai dunia pers Indonesia yang sudah terlanjur dikooptasi oleh penguasa Orde Baru lewat organisasi "wadah tunggal" semacam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). PWI Pusat di bawah Ketua Umum Sofjan Lubis[38] dan Sekjen Parni Hadi, dan PWI Jakarta di bawah Tarman Azzam[39], waktu itu praktis sudah menjadi alat rezim dengan sikapnya yang "memaklumi" dan tidak mengecam pembreidelan Tempo, DeTik, dan Editor, pada 21 Juni 1994.

Beberapa hari sebelum penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, 12 Mei 1998, para aktivis pers mahasiswa di UPN Veteran juga mengadakan pendidikan pers bekerjasama dengan AJI. Salah satu materinya adalah bagaimana cara membuat siaran pers yang efektif, sehingga agenda-agenda gerakan mahasiswa 1998 bisa lebih tersosialisasi di tengah masyarakat. Selama periode 1997-1999, AJI juga menjalin kerjasama dengan pers mahasiswa di Sekolah Tinggi Theologi, UPN Veteran, IISIP Lenteng Agung, Unitomo Surabaya, Unila Lampung, IAIN Jakarta, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Hasanuddin Ujungpandang, dan dengan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jabotabek (FKSMJ).[40]

Kerjasama organisasi jurnalis profesional dan aktivis pers mahasiswa itu ternyata kemudian terus berlanjut. Yayasan Jurnalis Independen (YJI), yayasan nirlaba yang didirikan oleh sejumlah pendiri AJI pada 12 Januari 2000, menjalin kerjasama berkesinambungan dengan aktivis mahasiswa Universitas Terbuka (UT). YJI bertujuan menumbuhkembangkan jurnalis yang profesional, kritis dan independen.[41]

Para aktivis YJI memberikan pelatihan pers secara gratis untuk mahasiswa UT, melalui Forum Komunitas Mahasiswa dan Masyarakat Internet (FKM2I), yang membuat media online, yakni MAMAnet (Majalah Mahasiswa Internet online) di www.kbi-ut.com. Penggunaan media Internet adalah perkembangan teknologi kontemporer yang dimanfaatkan oleh para aktivis pers mahasiswa.

Di lingkungan Universitas Indonesia, YJI juga menjalin kerjasama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, dengan mengadakan seminar dan pelatihan jurnalistik di kampus UI Depok, 14-15 November 2001. Seperti pola-pola kerjasama sebelumnya, seluruh materi dan tenaga instruktur disediakan oleh YJI. Acara yang diikuti lebih dari 150 orang ini lebih dari separuh pesertanya berasal dari luar UI, seperti dari UNJ dan IISIP. Ada juga peserta yang bukan mahasiswa (SMA), bahkan tiga jurnalis suratkabar Suara Kota yang berbasis di Depok ikut menjadi peserta.

Kondisi Politik dan Hankam Indonesia 1997-1998

Untuk memahami bagaimana peran pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa 1998, tentu kita perlu meninjau bagaimana kondisi sosial-ekonomi, politik, dan pertahanan-keamanan pada waktu itu, yang mengalami banyak perubahan besar sejak terjadinya krisis moneter 1997.

Sebelum berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, kondisi politik Indonesia sebetulnya sudah lama memburuk. Bisa dibilang, benih-benih perlawanan yang kemudian memuncak terhadap Soeharto sudah ditanam jauh sebelum Pemilihan Umum Juni 1997, bahkan sekurang-kurangnya sekitar satu dasawarsa sebelumnya. Dengan makin bertambahnya tahun kekuasaan Soeharto, legitimasinya justru makin merosot. Sesudah 30 tahun di bawah sistem politik tertutup rezim Soeharto, masyarakat kelas menengah menuntut “kue politik” yang lebih besar, sedangkan masyarakat bawah menuntut “kue ekonomi” yang lebih besar.

Sebagai indikator frustrasi yang memuncak, berbagai kerusuhan sosial telah terjadi di Indonesia, bahkan jauh sebelum terjadinya krisis moneter Juli 1997. Sesudah kerusuhan sosial berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) di Surabaya pada Juni 1996, yang merusak 10 gereja, kerusuhan yang paling menonjol secara politis pada 1996 adalah Peristiwa 27 Juli atau dinamai juga Sabtu Kelabu. Yakni, penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang dikuasai oleh massa pendukung Megawati Soekarnoputri, oleh massa pro-Soerjadi yang secara terselubung didukung aparat militer.

Menurut catatan M. Iqbal Djajadi [1999], pada tahun 1997 setidaknya terdapat 17 kasus kerusuhan di berbagai daerah, sebagian besar terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Umum.[42] Namun yang memakan paling banyak korban adalah kerusuhan etnis antara Dayak dan Madura di Sanggauledo, Kalimantan Barat. Kerusuhan terakhir ini terdiri dari dua gelombang. Gelombang pertama pada 30 Desember 1996 hingga 15 Januari 1997, dan gelombang kedua pada 28 Januari sampai 18 Februari 1997.

Sedangkan pada tahun 1998 terjadi setidaknya 17 kerusuhan. Yang paling dramatis adalah kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta dan kerusuhan 14-15 Mei di Solo. Dari 17 kerusuhan itu, 14 di antaranya terjadi pada bulan Mei, yakni pada saat-saat terakhir Soeharto menjabat Presiden. Karena data kerusuhan ini dicuplik dari pemberitaan media massa, bisa jadi jumlah kerusuhan yang terjadi sebenarnya lebih banyak lagi, karena tidak semua kerusuhan terpantau oleh media. Kerugian jiwa dan harta benda akibat berbagai kerusuhan ini sudah sangat besar.

Kerugian akibat Kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta saja, menurut penjelasan pemerintah, diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.[43] Menurut perincian Gubernur DKI, Kerusuhan 13-14 Mei itu telah merusak 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kantor kecamatan, 11 polsek, 383 kantor swasta, 65 bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom bensin, 8 bus kota dan metromini, 1.119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 11 taman, 18 pagar, 1.026 rumah penduduk dan gereja. Sementara itu, korban meninggal berjumlah 288 orang dan 101 korban luka-luka.

Banyaknya kerusuhan ini menunjukkan kondisi integrasi nasional Indonesia sedang berada pada titik amat rendah. Aspek lain dari sejumlah kerusuhan ini adalah mengemukanya perlawanan masyarakat versus negara. Praktis seluruh Insiden Pemilu 1997 merupakan bentuk perlawanan masyarakat terhadap sikap sewenang-wenang negara. Rezim Soeharto melakukan blunder dengan merekayasa Peristiwa 27 Juli, yang dampaknya menimbulkan ketidakpercayaan berat terhadap pemerintah.

Masyarakat Indonesia memang telah mengalami transformasi sosial yang sangat fundamental, atau ada yang menyebutnya “revolusi diam-diam” (silent revolution). Menurut Afan Gaffar [1999], transformasi sosial ini merupakan produk dari pembangunan nasional yang berlangsung selama lima Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan nasional memang telah membawa hasil positif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekalipun dengan tingkat distribusi yang masih belum baik.
Sebelum terjadi krisis ekonomi, pendapatan per kapita Indonesia sudah meningkat menjadi sekitar 550 dollar AS, dan kemampuan baca tulis orang dewasa mencapai 75 persen. Selain itu, terdapat peningkatan proporsi orang yang mengalami peningkatan kemampuan politik. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah pemilih muda yang semakin bertambah pada setiap Pemilu.

Pada Pemilu 1992, sekitar 22 juta pemilih pemula untuk pertama kali mengunakan hak pilihnya. Pada Pemilu 1997, jumlah pemilih baru juga hampir sama, 20 juta pemilih. Mereka adalah generasi baru yang mempunyai pengalaman politik berbeda, yang mengalami sosialisasi atau pendidikan politik dan yang kemudian memiliki aspirasi dan tuntutan politik yang berbeda pula dari generasi-generasi sebelumnya.
Sejalan dengan makin meningkatnya kesejahteraan dan tingkat pendidikan masyarakat, tuntutan ke arah kehidupan politik juga tak bisa dihindarkan. Tampaknya sistem politik di bawah rezim Soeharto gagal mengakomodasi meningkatnya tuntutan politik bagi demokratisasi ini.[44]

Ada beberapa karakteristik dari pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto yang tampaknya enggan berubah menghadapi desakan tuntutan masyarakat ini. Karakteristik itu adalah: Lembaga Kepresidenan yang terlalu dominan; rendahnya kesetaraan di antara Lembaga Tinggi Negara; rekrutmen politik yang tertutup; birokrasi sebagai instrumen kekuasaan; kebijaksanaan publik yang tidak transparan; sentralisasi; implementasi hak asasi manusia (HAM) yang masih rendah; dan sistem peradilan yang tidak independen.[45]

Lembaga Kepresidenan di bawah Soeharto telah membentuk format politik secara mempribadi, dan memiliki semua sumberdaya yang diperlukan dalam sebuah proses politik. Salah satu sumberdaya politik yang sangat strategis bagi lembaga ini adalah kontrol terhadap rekrutmen politik, baik yang ada di lembaga-lembaga tinggi negara, birokrasi, maupun yang di luar lembaga negara, termasuk: partai politik, organisasi sosial, bahkan organisasi ekonomi.

Keterwakilan rakyat di parlemen (DPR dan MPR) telah berkurang maknanya karena pola rekrutmen yang sebagian bersifat tertutup. Artinya, tidak secara langsung melibatkan masyarakat pemilih dan tidak memberikan peluang yang sama bagi mereka yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan tersebut.[46] Sejumlah anggota MPR diangkat oleh Presiden tanpa melalui Pemilu.

Dari 1.000 anggota MPR pada rekrutmen tahun 1997, misalnya, 425 berasal dari anggota DPR yang dipilih melalui Pemilu, 75 berasal dari anggota DPR yang mewakili ABRI dan diangkat secara langsung oleh Presiden atas usul Panglima ABRI. Sedangkan 500 lainnya adalah anggota MPR yang mewakili Utusan Daerah dan Golongan-golongan.

Proses seleksi 500 anggota MPR lainnya itu adalah: 1) Anggota MPR yang merupakan tambahan dari Parpol dan Golkar, sesuai dengan persentase perolehan suara dalam Pemilu; 2) Anggota MPR yang merupakan Utusan Daerah yang diusulkan oleh DPRD Tingkat I dan diangkat dengan SK Presiden; 3) Anggota MPR berjumlah 100 orang yang mewakili Golongan-golongan dan diangkat secara langsung oleh Presiden dan kemudian bergabung dengan FKP di MPR. Jadi setidaknya ada 175 anggota MPR yang diangkat langsung oleh Presiden.

Dalam prakteknya kemudian, MPR juga sulit disebut sebagai lembaga legislatif murni, karena pejabat pemerintah pusat dan daerah (kalangan eksekutif) --seperti: menteri kabinet, gubernur, panglima daerah militer-- ikut menjadi anggota legislatif. Ini terlihat jelas pada anggota MPR di FKP, yang berasal dari Golongan-golongan, dan anggota MPR Utusan Daerah. Maka timbul persoalan tentang makna representasi dari MPR dan sulit diharapkan lembaga parlemen ini bisa benar-benar menjadi penyalur aspirasi rakyat.

Pemilu 1997, seperti Pemilu-pemilu Orde Baru sebelumnya, secara formal-prosedural adalah proses politik dari bawah, tetapi secara substantif sejatinya sangat didominasi oleh prakarsa elite. Sebab, proses dan struktur Pemilu pada hakekatnya lebih banyak bermuatan kehendak elite politik dan hanya sedikit sekali memberi peluang kepada rakyat untuk menyarankan aspirasinya. Jadi, adalah konsekuensi logis belaka jika hasil Pemilu berupa wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD lebih menyuarakan kepentingan penguasa ketimbang kepentingan rakyat.[47]

Pada 1-11 Maret 1998 diadakan Sidang Umum (SU) MPR, yang para pesertanya adalah anggota MPR/DPR hasil Pemilu 1997. SU MPR diawali dengan pidato pertanggungjawaban Soeharto. Dalam pidato itu, Soeharto tidak menyinggung-nyinggung soal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), isu-isu yang justru sedang disorot tajam oleh masyarakat dan dianggap melibatkan kalangan keluarga Cendana dan kroninya. SU MPR yang diadakan di tengah krisis ekonomi ini berlangsung seolah-olah kondisi normal. Bahkan akhirnya, Soeharto oleh MPR dipilih lagi ketujuhkalinya dengan suara bulat, menjadi Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003, dengan BJ Habibie sebagai Wakil Presiden.

Namun susunan kabinet baru kembali menunjukkan ketidakseriusan Soeharto dalam menangani krisis. Kabinet itu diisi dengan tokoh-tokoh kroni yang makin menimbulkan frustrasi masyarakat, seperti Muhammad “Bob” Hasan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan; Subiakto Tjakrawerdaya menjadi Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil; R. Hartono menjadi Menteri Dalam Negeri; bahkan putri Soeharto sendiri, Siti Hardiyanti Rukmana, ditunjuk menjadi Menteri Sosial.

Inilah kabinet yang paling lemah dan paling tidak profesional di masa Orde Baru. Bau nepotismenya sangat kental. Beberapa figur yang jelas-jelas bermasalah malah dipasang lagi.[48] Sejumlah menteri bahkan bisa dibilang sebagai figur antireformasi. dan seolah-olah tutup mata dan tutup telinga terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

Menyinggung tuntutan masyarakat bagi demokratisasi dan reformasi, R. Hartono, dalam serah terima jabatan Menteri Dalam Negeri dari Moh. Yogie SM, pada 17 Maret 1998, mengatakan: “Saya sendiri tidak tahu. Jika (ada yang menuntut) demokratisasi, apa selama ini tidak demokratis. Reformasi? Apa tidak reformasi? Kalau reformasi dalam arti radikal, itu tidak sesuai dengan budaya kita. Jangan lupa, radikal dengan perubahan yang sesuai dengan tuntutan itu beda. Kita sudah laksanakan reformasi sejak tahun ’45 sejak kita merdeka. ‘Kan bertahap, bertingkat.”

Akibatnya, berbagai demo mahasiswa muncul dan terus bergelombang di kampus-kampus. Berbagai aspirasi masyarakat yang mendukung reformasi pun makin gencar dan terbuka diungkapkan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), misalnya, dalam pernyataan yang dibacakan Sekjen PB NU Achmad Bagdja yang didampingi Rois Syuriah KH Ilyas Ruchiat sesudah rapat pleno PB NU, 15 April 1998, mengimbau ABRI untuk mendukung reformasi. Dikatakan, perubahan (reformasi) merupakan sunnah atau hukum Allah yang tidak dapat ditolak.Menolak reformasi atau ishlah (tuntutan perbaikan) sama artinya dengan menolak sunnah Allah serta mengingkari potensi manusia untuk menyempurnakan diri dan kehidupannya menjadi lebih baik.

Pada 1 Mei 1998, Soeharto melalui Mendagri R. Hartono bereaksi dengan mengatakan, reformasi hendaknya harus tetap konstruktif dan tidak terjebak dalam pemikiran dan sikap yang akibatnya mengganggu stabilitas. Kalau ada keinginan reformasi di bidang politik, dipersilakan mempersiapkan diri setelah tahun 2003. “Bila reformasi sampai mengganggu stabilitas, terpaksa harus dihadapi demi kepentingan bangsa!”

Sikap serupa diungkapkan melalui Menteri Penerangan M. Alwi Dahlan, bahwa reformasi harus melalui MPR/DPR sebagai jalur konstitusional, tapi kalau ada yang tidak mau mengerti, akan dihadapi dengan suatu tindakan. Tetapi sesudah muncul reaksi keras terhadap pernyataan ini, Soeharto meralat ucapannya dengan mengatakan, tidak benar jika ia disebut tidak menginginkan reformasi sampai tahun 2003.

Soeharto bertolak ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri Konferensi Tingkat tinggi G-15 kedelapan, 9 Mei 1998. Ketika Soeharto di luar Indonesia, terjadi insiden penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei. Pada peristiwa di Trisakti, 12 Mei itu, telah tewas: Hendriawan Sie (mahasiswa FE angkatan 1996), Hafidhin Royan (mahasiswa FT Sipil & Perencanaan, angkatan 1995), Elang Mulia Lesmana (mahasiswa FT Sipil & Perencanaan, angkatan 1996), dan Hery Hartanto (mahasiswa Fakultas Teknologi industri, angkatan 1995).

Tragedi Trisakti itu disusul dengan terjadinya kerusuhan massa di Jakarta pada 13-14 Mei 1998. Karena situasi gawat, Soeharto mempersingkat kunjungannya di Mesir dan kembali ke Jakarta pada 15 Mei 1998. Pada 16 Mei, Soeharto menerima para dosen UI, yang dipimpin Rektor UI Prof. DR. dr. Asman Boedisantoso Ranakusuma, yang memberi masukan tentang konsep reformasi. Pada kesempatan itu, para dosen menyampaikan aspirasi rakyat, yang meminta Soeharto mundur. Presiden menjawab, semua aspirasi itu disalurkan ke DPR.

Sesudah bertemu dengan delegasi UI, Soeharto bertemu dengan para pimpinan DPR, yakni Ketua DPR/MPR H. Harmoko, Wakil Ketua Syarwan Hamid, dr. Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, Fatimah Achmad, dan Sekjen DPR Afif Ma’roef.[49] Dalam pertemuan itu, Ketua DPR menyampaikan dokumen dari DPR yang menyangkut agenda reformasi DPR dan aspirasi masyarakat yang disampaikan ke DPR oleh berbagai kekuatan sosial-kemasyarakatan, mahasiswa, cendekiawan, LSM dan sebagainya. Secara rinci Ketua DPR mengungkapkan desakan rakyat untuk menggelar Sidang Istimewa MPR. Kabinet Pembangunan VII segera di-reshuffle dan Presiden agar mengundurkan diri.

Menanggapi hal itu, dengan alasan untuk melindungi rakyat, harta rakyat, aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, Pancasila dan UUD ’45, Soeharto menjawab, ia akan melakukan tiga hal. Pertama, untuk mengamankan semua itu ia akan mengambil tindakan tegas dengan menggunakan Tap V/MPR/1998, yang memberi wewenang sangat luas kepada Presiden untuk mengambil tindakan apapun untuk keselamatan negara. Kedua, reformasi jalan terus, DPR diharapkan menggunakan usul inisiatif dan pemerintah mendukung. Ketiga, kabinet akan di-reshuffle.

Ismail Hasan Metareum mempersoalkan dampak yang akan terjadi, khususnya akibat penerapan Tap V/MPR/1998, bilamana dalam pelaksanaan operasionalnya dibentuk badan semacam Kopkamtib, yang di mata masyarakat merupakan lembaga ekstra-konstitusional yang di masa lalu sangat menyeramkan. Selain itu, bagaimana pula reaksi luar negeri. Presiden menjawab, soal nama akan dipertimbangkan agar tak ada kesan Kopkamtib gaya baru, sedangkan reaksi luar negeri tak perlu dihiraukan karena ini semata-mata urusan dalam negeri. Sikap Presiden terhadap tuntutan rakyat dengan demikian sangat jelas.

Pada Senin, 18 Mei para pimpinan DPR/MPR bertemu. Saat itu gedung MPR/DPR sudah diduduki ribuan mahasiswa, dan DPR dalam posisi terjepit antara tuntutan rakyat dan mahasiswa serta sikap keras Presiden. Dalam pertemuan itu, para pimpinan DPR menyimpulkan DPR harus bertindak, dengan membuat pernyataan yang berpihak kepada aspirasi dan tuntutan rakyat, yang dipelopori mahasiswa. Yakni, agar Soeharto mundur. Sebelum menyusun pernyataan pers, pimpinan Dewan mengundang para pimpinan fraksi (Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Persatuan Pembangunan). Mereka satu-persatu diberitahu tentang hasil pertemuan dengan Presiden pada hari Sabtu (16 Mei), dan tentang kesepakatan pimpinan dewan untuk membuat pernyataan pers.

Berdasarkan hasil pertemuan itu, Ketua DPR/MPR H. Harmoko pada pukul 16.00 WIB, 18 Mei, membuat manuver politik mengejutkan. Dalam jumpa pers, Harmoko mengatakan, Pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil Ketua, mengharapkan –demi persatuan dan kesatuan bangsa—Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Namun malam harinya, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto menyanggah, dengan mengatakan pernyataan Ketua MPR/DPR itu adalah sikap individual yang tidak memiliki ketetapan hukum, meskipun disampaikan secara kolektif. Pendapat DPR harus diambil seluruh anggota melalui sidang paripurna DPR.

Di tengah desakan mundur yang gencar, Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat yang disiarkan oleh televisi, 19 Mei 1998. Tokoh-tokoh masyarakat yang sengaja diundang ke Istana Merdeka itu adalah: DR. Nurcholish Madjid (cendekiawan), Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra (pakar Hukum Tata Negara), Prof. KH Ali Yafie dan Drs. Amidhan (MUI), KH Abdurrahman Wahid, dr. Fahmi Saifuddin, KH Ma’ruf Amin, dan KH Achmad Bagdja (NU), Emha Ainun Nadjib (seniman), KH Cholil Baidlowi (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), Prof. Malik Fadjar, MSc., Sutrisno Muhdam, dan Soewarsono (Muhammadiyah).

Pada kesempatan itu, Soeharto mengatakan, tidak menjadi masalah jika ia harus mundur. Pasalnya, apakah dengan kemundurannya itu akan bisa mengatasi permasalahan. Soeharto mengatakan, ia tak mau dicalonkan kembali pada Pemilu mendatang dan akan membentuk Komite Reformasi secepatnya.

Berdasarkan kesepakatan seluruh fraksi, DPR-RI pada hari yang sama menyatakan, dapat memahami pengunduran diri Presiden jika dilaksanakan secara konstitusional. Hari itu, makin banyak mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR Senayan.

Suasana kota Jakarta pada 20 Mei 1998 sangat mencekam. Hampir seluruh kegiatan kantor, sekolah, pertokoan berhenti. Soeharto sendiri terpukul, ketika 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Kabinet Pembangunan VII, dalam pertemuan di kantor Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita memutuskan, untuk tidak duduk lagi dalam kabinet yang direncanakan Soeharto dari hasil pertemuan dengan para tokoh masyarakat, yang akan dinamai Kabinet Reformasi.

Empat belas menteri yang tidak mau lagi bergabung dalam kabinet adalah: Ir. Akbar Tandjung (Menperkim), Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, M.Sc (Mentamben), Ir. Drs. AM. Hendropriyono, SH, SE, MBA (Mentrans PPH), Sanyoto Sastrowardoyo, M.Sc (Meninves/Kepala BKPM), Ir. Rachmadi Bambang Sumadhijo (Menteri PU), Prof. Dr. Ir. Rahardi Ramelan, M.Sc (Menristek/Kepala BPPT), Ir. Sumahadi, MBA (Menhut/Perkebunan), Subiakto Tjakrawerdaya, SE (Menkop/PPK), Drs. Theo L. Sambuaga (Menaker), Prof. Dr. Ir. Justika S. Baharsjah, M.Sc (Mentan), Ir. Giri Suseno Hadihardjono, MSME (Menhub), Dr. Haryanto Dhanutirto (Menpangan), dan Tanri Abeng, MBA (Meneg Pendayagunaan BUMN).

Dua menteri di bawah Menko Ekuin yang tidak hadir adalah Bob Hasan (Menperindag) dan Fuad Bawazier (Menkeu). Namun, Bob bersedia menandatangani surat bersama itu, kecuali Fuad Bawazier. Surat kesepakatan ketidaksediaan duduk dalam kabinet baru itu rencananya akan disampaikan kepada Soeharto.[50]

Dalam surat pernyataan kepada Soeharto yang ditandatangani 14 menteri tertanggal 20 Mei 1998 itu dinyatakan alasannya, yaitu situasi ekonomi sudah memburuk dari jam ke jam, dari hari ke hari. Diperkirakan, situasi ekonomi tak akan sanggup bertahan dalam seminggu jika tidak segera diambil langkah politik yang cepat dan tepat, sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Khususnya mengenai reformasi di segala bidang, seperti antara lain yang direkomendasikan oleh DPR-RI dengan pimpinan Fraksi-fraksi pada Selasa, 19 Mei 1998. Ke-14 menteri ini sependapat, pembentukan kabinet baru tidak akan menyelesaikan masalah.

Soeharto akhirnya berhenti dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998 dan Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi Presiden baru di Istana Merdeka. Kabinet Reformasi Pembangunan bentukan Habibie diumumkan pada 22 Mei 1998.
Kondisi Sosial-Ekonomi Indonesia 1997-1998

Dari awal sampai pertengahan 1997, sebetulnya kondisi ekonomi Indonesia lumayan baik. Berbagai indikator makroekonomi menunjukkan hal itu. Tingkat pertumbuhan ekonomi sejak tahun 1990 mencapai rata-rata 7 persen dan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Tingkat inflasi juga bertahan pada tingkat di bawah dua digit, bahkan hanya mencapai 6 persen pada tahun 1996 yang secara psikologis dianggap aman.[51]

Di sektor luar negeri, meskipun neraca perdagangan terus defisit, ini diimbangi dengan besarnya surplus neraca modal, sehingga nilai akumulasi cadangan devisa terus meningkat dan mencapai puncaknya pada Juni 1997 senilai 20,3 milyar dollar AS.

Namun dampak makroekonomi akibat krisis ini sangat besar, baik dari segi skala maupun cakupannya. Dampak paling cepat terlihat pada ketersediaan cadangan devisa. Setelah beberapa kali kegagalan dalam upaya stabilisasi nilai tukar, cadangan devisa negara merosot dari 20,3 milyar dollar AS pada Juni 1997 menjadi sekitar 14 milyar dollar AS pada pertengahan 1998. Ini juga merupakan dampak dari memburuknya neraca modal Indonesia akibat penurunan arus modal masuk secara drastis maupun melonjaknya arus modal keluar.

Runtuhnya perbankan nasional juga telah menimbulkan krisis kepercayaan yang akhirnya berdampak pada masalah likuiditas perbankan yang sangat serius. Bank Indonesia terpaksa melakukan langkah penyelamatan melalui penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang melonjak dari sekitar Rp 7 trilyun pada September 1997 menjadi Rp 140 trilyun pada Juli 1998.[52]

Akibat krisis ini, perbankan dan dunia usaha nasional (BUMN, koperasi, dan swasta) telah mengalami kebangkrutan akibat mahalnya tingkat suku bunga kredit (di atas 60 % setahun), besarnya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, ketatnya likuiditas dan merosotnya indeks harga saham secara tajam. Keadaan ekonomi semakin bertambah sulit berkaitan dengan gagalnya panen gadu serta kebakaran hutan akibat musim kering yang berkepanjangan.

Dampak segera dari perubahan nilai tukar rupiah adalah anjloknya permintaan domestik secara signifikan, yang tercatat sejak kwartal pertama 1998. Runtuhnya permintaan domestik ini mempengaruhi sisi produksi, karena permintaan domestik telah menjadi sumber penting pertumbuhan sejak awal 1990-an. Karena terdapat peningkatan ketidakseimbangan eksternal, diperkirakan produk domestik bruto (GDP) menyusut kurang dari kontraksi permintaan domestik. GDP merosot sebesar 13,45 % pada 1998.[53] Dari empat sektor penting yang paling terpengaruh oleh krisis –konstruksi, pariwisata, keuangan, dan manufaktur—sektor konstruksi adalah yang terberat menerima pukulan. Sektor konzstruksi sudah mengalami pertumbuhan negatif sejak kwartal ketiga 1997.

Anwar Nasution [1999] mengungkapkan, akibat berbagai hal di atas, pengangguran terbuka meningkat drastis dan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan bertambah dengan cepat. Gabungan antara tingkat pengangguran yang tinggi dengan tingkat laju inflasi yang meningkat, antara kemiskinan masyarakat dan kekurangan pangan, dapat menimbulkan gejolak sosial dan meningkatkan tindakan anarkis dan kriminalitas.[54]

Selama lima bulan pertama 1998, inflasi versi pemerintah saja telah mencapai lebih dari 40 persen. Dengan menggunakan basis tahunan, inflasi selama Januari hingga Mei 1998 telah mencapai lebih dari 100 persen.[55] Perlu dicatat pula bahwa pola inflasi yang selama ini terjadi di Indonesia ditandai oleh inflasi bahan pangan yang hampir selalu melebihi inflasi umum. Dengan mengacu ke inflasi pangan, bisa dihasilkan perhitungan yang lebih cermat untuk memperkirakan dampaknya terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin.

Menurut Faisal Basri, unsur pangan dalam perhitungan angka garis kemiskinan teramat dominan, yaitu lebih dari 80 persen. Akibatnya, kenaikan harga pangan menjadi sangat peka terhadap perubahan jumlah orang miskin. Hitungan kasarnya sebagai berikut, jika harga pangan naik 25 persen, jumlah penduduk miskin akan naik lebih dua kali lipat atau persisnya 129 persen. Seandainya harga pangan naik 50 persen, jumlah orang miskin naik dua setengah kali lipat, yaitu dari 22,5 juta menjadi 78,1 juta jiwa. Kedua skenario itu sudah jauh ketinggalan, karena pada sembilan bulan sejak mulainya krisis, harga pangan telah meningkat lebih dari dua kali lipat.[56]

Pada tahun 1970, ada 70 juta orang miskin atau 60% dari jumlah penduduk Indonesia waktu itu. Setelah itu, jumlah penduduk miskin, baik secara absolut maupun persentase, terus mengalami penurunan secara konsisten. Pada tahun 1996, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tinggal 22,5 juta jiwa atau 11,2 persen dari jumlah penduduk. Namun krisis ekonomi 1997-1998 telah memurukkan kembali kondisi mereka. Kenaikan harga pangan yang menjadi dua kali lipat pada sembilan bulan pertama sejak mulainya krisis, menyebabkan jumlah orang miskin membengkak menjadi 118,5 juta jiwa atau 60,6 persen dari jumlah penduduk.

Dengan membandingkan angka pertumbuhan GDP 1997 sebesar 4% dan perkiraan pertumbuhan GDP tahun 1998 sebesar minus 15%, jumlah yang kehilangan pekerjaannya selama 1998 bisa mencapai minus 20% yang berarti tambahan PHK bisa mencapai 9,6 juta pekerja. Ditambah dengan penganggur sebelumnya dan pencari pekerjaan pertama, jumlah penganggur pada akhir 1998 diperkirakan mendekati 20 juta pekerja.[57]

Kredibilitas pemerintah pun telah sampai titik terendah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merespons krisis bersifat tambal sulam dan cenderung mengambil jalan berputar-putar. Kebijaksanaan pemerintah dalam kurun waktu yang singkat sering berubah-ubah.

Menurut Faisal Basri [1999], kecenderungan itu terjadi karena pemerintah belum mau menyadari secara jujur atau sengaja menutup-nutupi sumber penyebab krisis.[58] Bahkan pada sidang kabinet lengkap pertama, 17 Maret 1998, Presiden Soeharto sendiri mengakui, hingga saat itu pemerintah belum menemukan cara ampuh untuk mengatasi krisis yang telah berlangsuing sejak Juli 1997.

Gambaran yang jelas dan runtun dari tahap-tahap kemerosotan ekonomi Indonesia bisa dilihat pada perkiraan pertumbuhan ekonomi 1998, yang terus menerus mengalami koreksi. Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi 1998 diperkurakan 7%.

Versi pertama RAPBN 1998-1999 diturunkan menjadi 4%. Kemudian, pada kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang kedua, 15 Januari 1998, dikoreksi menjadi 0%.
Pada kesepakatan ketiga, 9 April 1998, angka itu masih dikoreksi lagi menjadi minus 4%. Selanjutnya, pada awal Juni 1998, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi 1998 minus 10%. Dengan memperhatikan perkembangan berbagai indikator ekonomi di tingkat makro dan mikro, tampaknya kemerosotan ekonomi jauh lebih besar lagi, paling tidak minus 15% atau bahkan bisa minus 20%.[59]

Di tengah masyarakat Indonesia yang sedang dilanda kesulitan ekonomi dan harga bahan kebutuhan pokok yang terus menjulang, pemerintah –tanpa persetujuan DPR—tiba-tiba mengambil insiatif pada 4 Mei 1998. Yakni, dengan mengumumkan secara resmi kenaikan tarif BBM (bahan bakar minyak) dan TDL (Tarif Dasar Listrik) lewat televisi dan radio di siang bolong. Menteri Perhubungan juga mengumumkan kenaikan tarif angkutan umum.

Masyarakat pun semakin panik.

Dari perspektif Ketahanan Nasional, ada dampak lain yang cukup memprihatinkan dari krisis ekonomi ini. Sri Mulyani Indrawati [1998] menunjukkan, reformasi ekonomi yang disepakati oleh pemerintah dan IMF menunjukkan reformasi yang cukup liberal, dengan pembukaan kesempatan yang luas tanpa batas, memberikan kesempatan yang sama bagi asing dan swasta nasional untuk terjun ke dalam bidang-bidang bisnis yang akan dibuka.

Dilihat dari konteks ini, kelompok yang sangat diuntungkan dari reformasi ekonomi ini adalah perusahaan asing yang siap dengan modal, teknologi, dan jaringan kerja internasional (seperti bank asing besar, multinational corporation) untuk memasuki bidang-bidang yang akan dibuka.[60]

Artinya, jelas bahwa bila pemerintah dan DPR tidak segera mengantisipasi perubahan struktur pasar yang pasti akan menjurus pada bentuk oligopoli internasional di banyak kegiatan, maka keuntungan dari reformasi ekonomi tidak akan dipetik oleh masyarakat konsumen. Bagi Indonesia, periode 1998-2000 merupakan masa transisi yang sulit dan berat bagi kehidupan ekonomi, sebelum memasuki kembali tahap perbaikan kinerja ekonomi jangka panjang.

Artikel diambil dari sebuah milis kiriman "Satrio arismunandar"
disadur kembali oleh jorganizer hamdani (sejarawan)
024-7060.9694

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers