Wednesday, September 8, 2010

Ambiguitas Privatisasi dan Masa Depan BUMN

PRIVATISASI--atau dalam istilah yang lebih luas disebut divestasi-Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih menjadi salah satu dari isu paling kontroversial dalam perekonomian Indonesia.

Di satu pihak, privatisasi masih diakui dan diperlukan untuk membantu menutup ketimpangan pembiayaan (financing gap) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlebih ketika tahun depan fiskal kita tidak lagi "dikawal" IMF. Ini tercermin dari target RAPBN 2003 yang mencapai Rp 8 triliun.

DI sisi lain, secara politis timbul resistensi hebat di sana sini sehingga Kementerian Negara BUMN kesulitan untuk merealisasikannya. Akibatnya, mereka tampak amat gamang untuk dapat mencapai target itu (Kompas, 14 Juni 2003). Sikap Dana Moneter Internasional (IMF) pun tampaknya juga diliputi ambiguitas. Di satu sisi, program privatisasi di Indonesia dirasa berjalan lambat, namun di sisi lain target Rp 8 triliun juga terasa tidak realistis (terlalu tinggi).

Tentu saja ambiguitas di kalangan pemerintah (Departemen Keuangan dan Kementerian Negara BUMN), parlemen, bahkan IMF ini memang merepotkan dan harus dicarikan titik temu. Kata sepakat tampaknya tidak mudah diperoleh dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders) tersebut.

Secara universal, isu privatisasi ataupun divestasi BUMN (pengertian divestasi terasa lebih netral dan luas karena investor baru bisa saja merupakan pihak asing swasta maupun pemerintah, tidak harus swasta domestik) memang merupakan isu kontroversial sejak kick-off dilakukan Perdana Menteri Margaret Thatcher di Inggris tahun 1979. Secara universal, memang tidak mudah bagi masyarakat, apalagi yang awam ekonomi, untuk menerima ide privatisasi. Dalam banyak kasus, seperti juga terjadi di Indonesia sekarang, privatisasi menjadi isu yang lebih kental nuansa politisnya dibandingkan kalkulasi pertimbangan ekonomi semata.

Wacana akademik

Dalam wacana akademik, fenomena privatisasi BUMN sebenarnya sudah mendapatkan perlindungan "payung" teori yang kuat. Beberapa argumen yang mendukung privatisasi BUMN didasarkan pada akar teori kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian (government failure), teori property rights, hubungan principal-agent, dan masalah insentif (lihat misalnya, Dunleavy 1986, Majone 1994, Holmstrom dan Milgrom 1991; Hanke dan Walters 1994, North 1992, Saphiro dan Willig 1990; Zinnes, Eilat dan Sachs 2001; Tirole 1991; serta Dixit 1997).

Berikut ini tiga teori paling klasik sebagai esensi dan urgensi privatisasi.

Pertama, teori monopoli. Secara sederhana dikatakan bahwa BUMN dalam banyak kasus sering menerima privilege (kekhususan) monopoli. Akibatnya, mereka sering terjerumus menjadi tidak efisien karena hak istimewa ini (lihat misalnya, Stiglitz 2000; Hanke dan Walters 1994; serta Dunleavy 1986).

Kedua, teori property rights. Esensinya, perusahaan swasta dimiliki oleh individu-individu yang bebas untuk menggunakan, mengelola, dan memberdayakan aset-aset privatnya. Konsekuensinya, mereka akan mendorong habis-habisan usahanya agar efisien. Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi perusahaan.

Sebaliknya, BUMN tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh "negara". Dalam realitas, pengertian "negara" menjadi kabur dan tidak jelas. Jadi, seolah-olah mereka justru seperti "tanpa pemilik". Akibatnya, jelas, manajemen BUMN menjadi kekurangan insentif untuk mendorong efisiensi (lihat misalnya, Hanke 1987).

Studi di banyak negara secara universal menyimpulkan bahwa efisiensi perusahaan swasta lebih baik daripada BUMN. Dalam kasus Indonesia, I Ketut Mardjana (1995) juga menyimpulkan hal yang sama. Perusahaan-perusahaan swasta di bidang transportasi (bus) di Jakarta dan perhotelan bintang lima di Nusa Dua, Bali, terbukti mengungguli BUMN yang bergerak di bidang yang sama.

Ketiga, teori principal-agent. Dalam teori ini diungkapkan bagaimana peta hubungan antara principal (pemilik perusahaan, dalam hal BUMN adalah pemerintah) dan agent (perusahaan, yakni BUMN). Di sektor swasta, manajemen perusahaan (sebagai agen) sudah jelas tunduk dan loyal kepada pemilik atau pemegang saham (shareholders). Di BUMN, mau loyal kepada siapa? Di sini kemudian nuansa "politisasi" menjadi kental karena berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh para politisi. Para pengelola BUMN terpaksa harus "meladeni" para politisi sehingga pasti mengganggu ruang geraknya menuju efisiensi.

Upaya untuk menghilangkan intervensi politik dalam pengelolaan BUMN ini ditempuh dengan konsep stakeholder economy, yakni perusahaan harus memiliki tanggung jawab (responsibility) terhadap sejumlah pihak yang terkait (stakeholders), yakni karyawan, kreditor, masyarakat setempat, dan seterusnya (lihat Dixit, 1997).

Untuk menunjang pencapaian itu, didoronglah konsep corporate governance, yang intinya adalah bagaimana hubungan antara dewan pengawas (komisaris), manajemen eksekutif (direksi), dan pemilik (pemegang saham) dalam menentukan arah dan kinerja perusahaan. Atau dengan kata lain, corporate governance adalah sistem di mana perusahaan bisnis diarahkan dan dikontrol secara efektif (lihat misalnya, Wheelen dan Hunger 2000; OECD 1999).

Namun, sayangnya, penggunaan konsep ini sering misleading. Istilah corporate governance sering disalahartikan sebagai "penciptaan perekonomian yang sehat melalui pengembangan operasi bisnis dalam jangka panjang dan sukses bersaing di pasar internasional" (lihat Lipton dan Rosenblum, 1991).

Selain teori ekonomi, dalam wacana politik, privatisasi didukung sebagai upaya untuk melakukan redistribusi kekuasaan (redistribution of power) (lihat Guislain, 1997; dan North, 1992). Melalui privatisasi, sebuah perusahaan eks BUMN bisa dimiliki oleh masyarakat luas melalui bursa efek. Proses kepemilikan yang meluas di kalangan masyarakat juga dianggap sebagai upaya demokratisasi di bidang ekonomi (lihat Bahgat, 1993).

IPO atau "strategic partner"

Indonesia termasuk negara yang "agak terlambat" memasuki era privatisasi dan divestasi. Hasrat untuk mulai melakukan privatisasi dimulai sejak tahun 1989, melalui instruksi presiden, yang memerintahkan 50 BUMN untuk bersiap-siap melakukan go public dalam tiga tahun. Waktu itu wacana privatisasi dimaknai dengan istilah go public, atau IPO (initial public offering), atau penjualan saham di lantai bursa. Sementara terminologi strategic partner atau private placement, yakni penjualan saham kepada investor yang berkompeten di bidang usaha yang bersangkutan, melalui block sale, atau penjualan secara utuh, yang tidak terpecah menjadi satuan saham kecil-kecil di bursa efek belum dimunculkan.

Privatisasi baru benar-benar bergulir sejak tahun 1992 ketika PT Semen Gresik menjual sahamnya di lantai bursa domestik, yang kemudian diikuti dengan sukses PT Indosat dan PT Telkom di bursa efek New York , PT Tambang Timah, dan PT Bank BNI pada tahun 1996. Semua proses itu dijalani dengan relatif mulus. Kalaupun ada kerikil yang mengganggu, itu terjadi karena saham PT Semen Gresik sempat jatuh di proses awal go public (lihat misalnya, Nallappan, Ong, dan Tee, 1998). Namun, secara umum, privatisasi parsial (partial divestiture), atau pelepasan sebagian saham pemerintah di BUMN, telah berjalan sukses.

Privatisasi model IPO yang kini tengah diproses Bank Mandiri, tampaknya juga akan menjadi kisah sukses berikutnya. Pemerintah semula hanya akan melepas sekitar 10 sampai 15 persen saham Bank Mandiri meski sebenarnya dimungkinkan hingga 30 persen. Namun, berhubung animo calon investor tampak tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri, maka pemerintah pun menaikkan saham yang akan dilepasnya menjadi 20 persen (lihat pernyataan Deputi Menneg BUMN Bidang Privatisasi Mahmuddin Yasin, Kompas 21 Juni 2003).

Setelah Bank Mandiri, pemerintah dalam waktu dekat juga akan melepas BRI, dengan cara yang sama (IPO). Meski berbeda dengan Bank Mandiri, BRI merupakan bank yang berkonsentrasi menyalurkan kredit usaha kecil, menengah, dan mikro sehingga jauh lebih kental misi agent of development-nya. Meski BRI akan didivestasi, tampaknya juga tak ada tanda-tanda penolakan masyarakat.

Tampaknya masyarakat paham benar bahwa divestasi melalui IPO akan menjadikan BUMN nantinya akan dimiliki banyak orang (tak peduli lokal maupun asing), yang berarti terjadi penyebaran kepemilikan. Dengan kata lain, tak ada penumpukan kekuasaan di salah satu atau segelintir pemilik. Faktor inilah yang menyebabkan masyarakat merasa tenang, anteng, dan tak perlu menunjukkan sikap resistensi.

Hal ini berbeda dengan kasus divestasi dengan metode strategic partner. Tahun 1998, Semen Gresik yang sebelumnnya sudah menjadi BUMN pelopor yang masuk lantai bursa efek, kembali menjadi pelopor sebagai BUMN yang didivestasi dengan mengundang strategic investor. Cemex dari Meksiko, sebagai salah satu pemain besar dunia, masuk ke Semen Gresik dan kini memiliki 25 persen. Pemerintah masih mayoritas dengan 51 persen, dan sisanya oleh investor di bursa 24 persen.

Kehadiran pemilik asing di BUMN sudah terbukti mengundang resistensi yang luar biasa. Kasus Semen Padang (dan juga Semen Gresik) dan kasus Indosat adalah dua contoh yang paling nyata bahwa divestasi dengan cara private placement lebih mudah ditafsirkan negatif oleh masyarakat, mulai dari isu nasionalisme (anti kepemilikan asing), proses divestasi yang dianggap tidak transparan, sampai kekhawatiran terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dalam kasus Semen Gresik, memang tak terjadi PHK, namun Semen Padang menginginkan spin-off, atau pemisahan Semen Padang dari perusahaan induk (holding company) Semen Gresik. Secara kebetulan, proses akuisisi Semen Padang oleh Semen Gresik pada tahun 1995 juga dianggap tidak sah secara hukum karena tidak dipayungi dengan produk hukum yang memadai, misalnya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur soal akuisisi dan pembentukan holding company.

Sementara dalam kasus divestasi Indosat, meskipun sudah dipayungi kesepakatan tidak akan ada PHK hingga tiga tahun ke depan, isu nasionalisme masih menggelinding. Pro dan kontra mengarah pada isu, apakah Indosat termasuk BUMN yang strategis ataukah tidak? Ada yang mengatakan strategis karena menyangkut telekomunikasi, ada pula yang berpendapat sebaliknya, industri ini bisa dibilang sunset karena di kemudian hari akan semakin banyak pemain yang akan beroperasi di bisnis ini. Karena itu, penjualan sekarang akan memberi manfaat ekonomi yang lebih besar dibandingkan jika ditunda-tunda. Tentu saja sangat sulit untuk mempertemukan kedua pendapat ini.

Kasus per kasus

Hanya yang jelas, berdasarkan pengalaman divestasi dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kita mulai serius menangani divestasi BUMN sejak krisis dimulai 1998 dan kita kesulitan fiskal, ada beberapa hal yang bisa dicatat.

Pertama, divestasi BUMN melalui cara IPO banyak melahirkan kisah sukses. Antusiasme investor untuk membeli saham Bank Mandiri dan sebaliknya, tak adanya resistensi terhadap divestasi bank terbesar di Indonesia ini, merupakan bukti derajat penerimaan masyarakat yang tinggi terhadap fenomena privatisasi. Masyarakat ternyata apresiatif terhadap langkah IPO.

Kedua, sebaliknya, divestasi dengan cara strategic partner dengan mengundang investor asing untuk membeli secara utuh, lebih mudah menimbulkan resistensi. Hipotesis bahwa cara strategic partner akan menguntungkan karena memberi harga tinggi barangkali benar. Namun, hipotesis bahwa investor asing tersebut otomatis akan membawa teknologi, pengetahuan dan manajemen, belum tentu benar. Teknologi pabrik baru Semen Gresik di Tuban sudah mutakhir. Sementara itu, Bank Mandiri juga bisa merekrut salah satu direkturnya, Kiat Lee, yang notabene manajer profesional dari Singapura. Tanpa divestasi kepada strategic investor pun merekrut manajer internasional yang disesuaikan kebutuhan perusahaan sudah bisa dilakukan.

Ketiga, hiruk-pikuk spin-off Semen Padang harus dikelola dengan ekstra hati-hati. Jangan sampai semangat spin-off ini lantas menjalar ke mana-mana secara tidak proporsional, yang belum tentu relevan. Pembentukan holding company, seperti PT Semen Gresik dan PT Pusri (Pupuk Sriwijaya), sebenarnya dimaksudkan untuk memperkuat perusahaan melalui sinergi. Perusahaan-perusahaan di bawah holding company tersebut pada dasarnya tidak bersaing satu sama lain karena secara tradisional dan geografis, mereka mempunyai pasar masing-masing.

Oleh karena itu, holding company hendaknya dioptimalkan sebagai wahana sinergi. Sementara dari sisi pasar modal, bisa membuat harga saham perusahaan (jika sudah go public) bernilai lebih tinggi.

Artikel disadur kembali oleh: Jorganizer Sang Sejarawan
johamdani@yahoo.com, 024-7060.9694

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers